Oleh: Husaini | Direktur INHAKA
Tujuan mulia pemerintah menggelontorkan anggaran besar-besaran untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa tercoreng oleh perilaku korup sebagian oknum perangkat desa.
Bahkan, penyalahgunaan dana desa tersebut ada yang dilakukan oleh kepala desa yang seharusnya menjaga dua sisi mata uang dana desa, yaitu transparansi dan akuntabilitas.
Keterbukaan dan pertanggungjawaban pengelolaan dana desa menjadi pilar penting untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang digelontorkan mampu memberikan dampak pembangunan yang optimal bagi masyarakat desa.
Untuk membangun kepercayaan, masyarakat perlu mengetahui bagaimana perencanaan, realisasi, hingga pelaporan penggunaan anggaran secara jelas dan akuntabel.
Apalagi anggaran yang diterima setiap desa terbilang besar, ratusan juta hingga miliaran rupiah dan terus meningkat setiap tahun. Total anggaran yang digelontorkan dari Rp 20,8 triliun tahun 2015 kini menjadi Rp 71 triliun. Setidaknya hingga tahun 2024 pemerintah telah mengucurkan anggaran sebesar Rp 608,9 triliun.
Sisi transparansi ini masih belum banyak dilakukan oleh kepala desa sebagai pemegang amanah. Survey yang dilakukan oleh Litbang Kompas beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa enam dari sepuluh responden mengaku tidak pernah mengikuti/membaca/mendapat penjelasan tentang program pemanfaatan dana desa di desanya.
Sementara di sisi lain, justru berita korupsi yang di dengar. Hampir seperempat responden menyebut pernah mendengar/melihat/mengetahui tentang korupsi dana desa terjadi di desanya. Isu anggaran dana desa yang di korupsi memang sudah menjadi berita yang tak asing lagi.
Dalam rentang waktu tujuh tahun sejak dikucurkan (2015-2022), Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK telah menyelidiki 851 kasus korupsi dana desa dengan 973 pelaku. Sebanyak 50 persen pelakunya adalah kepala desa itu sendiri.
Ratusan kepala desa dan perangkat desa yang mengorupsi dana desa bukanlah angka yang kecil. Bahkan, KPK mengungkapkan, korupsi dana desa ini masuk dalam tiga terbanyak kasus korupsi pengelolaan keuangan negara. Sangat memprihatinkan.
Tak dapat dimungkiri, besaran angka dana desa yang di terima membuat rentan untuk dikorupsi dengan berbagai modus, misalnya penggelembungan dana (mark up), pemalsuan tanda tangan atau stempel, penggelapan, hingga membuat proyek dan laporan fiktif.
Pengawasan yang lebih ketat dan terintegrasi perlu ditingkatkan, termasuk pengawasan berbasis masyarakat untuk memastikan apakah program dan penggunaan anggarannya sudah berjalan sesuai dengan perencanaan.
Dalam survey Litbang Kompas yang disampaikan penulis itu, masih lemahnya pengawasan masyarakat juga diakui oleh para responden. Sejumlah 64 persen responden yang menyatakan sebagai warga, mereka tidak bisa mengawasi penggunaan dana desa oleh perangkat desanya. (c-hu)