Resensi Film Clakclik.com
Film horor Siksa Neraka (2023) garapan sutradara Anggy Umbara ini terinspirasi komik laris era 1980-an berjudul sama karya MB Rahimsyah AA dan Irsyadul Anam yang diterbitkan CV Pustaka Agung Harapan, Surabaya.
Dalam komik, cerita diawali kisah perjalanan Isra Miraj Nabi Muhammad SAW, yang pada salah satunya tahapnya ditunjukkan segala hal terkait siksa neraka.
Komik Siksa Neraka pernah populer dan banyak menjadi bahan perbincangan orang. Hal itu terutama lantaran penggambaran atau visualisasi berbagai siksaan mengerikan, yang disebut dalam kitab suci bakal menimpa para pendosa sebagai balasan di neraka.
Beberapa rupa siksaan mahadahsyat ”ikonik” yang diingat orang kala itu adalah siksaan berupa setrika raksasa membara yang ditimpakan ke atas tubuh seorang pendosa. Siksaan dilakukan bertubi-tubi dan berkali-kali pula tubuh si ahli neraka dipulihkan untuk kemudian disiksa kembali.
Selain itu juga ada bentuk penyiksaan berupa mutilasi anggota tubuh si pendosa dengan pisau, gunting, atau gergaji tajam mengerikan. Ada pula pendosa yang disiram atau dipaksa memakan cairan sangat panas yang dapat melelehkan bagian tubuh manusia yang terkena cairan tersebut. Semua siksaan yang tak pernah terbayangkan di dunia fana.
”Memang harapan saya setelah menonton film ini orang-orang segera bertobat dan menjauhi perbuatan jahat atau maksiat. Segera insaf dan lebih mendekatkan diri pada Tuhan, keluarga, serta berbuat baik pada sesama,” ujar Anggy saat dihubungi, Jumat (22/12/2023).
Meski begitu, bagi Anda yang belum dan penasaran ingin menonton, sebaiknya tak perlu punya ekspektasi berlebihan. Apalagi mereka yang pernah punya referensi menonton film horor bertema neraka, baik versi Korea Selatan macam Along with the Gods: The Two Worlds (2017) maupun versi Hollywood fenomenal yang dibintangi aktor Keanu Reeves, Constantine (2005).
Kedua film sama-sama punya penggambaran dan visualisasi tentang neraka versi masing-masing yang terbilang ikonik dan menakjubkan secara detail. Apalagi ditambah dengan kemampuan berperan para bintang pemainnya yang mumpuni serta penggarapan naskah cerita yang sangat kuat. Selain itu juga teknologi efek visual pendukung.
Menurut Anggy, untuk filmnya ini, dia hanya mencoba memasukkan unsur cerita sebagai pengantar. Terkait pengembangan naskah, Anggy mengaku sebelumnya pernah ada satu naskah cerita yang sudah dibuat. Namun, naskah cerita tersebut dinilai masih terlalu umum dan terlalu luas.
Cerita yang ditulis oleh penulis naskah Lele Laila dirasa cocok oleh Anggy lantaran plot dan alur cerita sengaja dibikin lebih sederhana dan terkait keluarga, untuk membuat masyarakat lebih mudah mencerna. ”Dosa-dosa yang dipilih (untuk ditampilkan), misalnya, juga dicari yang kira-kira dianggap dekat dengan keseharian para penonton kita. Secara story line alur dan plotnya seringan dan sesimpel mungkin biar bisa masuk ke semua kalangan penonton,” tambahnya.
Dalam filmnya ini, Anggy mengaku tak mau tanggung-tanggung. Dengan budget hingga Rp 5 miliar, Anggy menggunakan teknologi animasi dan efek visual khusus berupa computer generated imagery (CGI) canggih.
Tak hanya itu, dia juga memanfaatkan teknologi terbaru, layar virtual realitas diperluas (XR extended reality virtual screen) yang menggantikan teknologi lama, layar hijau alias green screen. Dengan teknologi terbaru itu, visualisasi neraka dapat ditayangkan menjadi latar belakang dari adegan-adegan siksa neraka yang diperankan para aktor.
Cerita diawali gambaran sebuah keluarga harmonis seorang pemuka agama, Ustaz Syakir (Ariyo Wahab), yang beristrikan Rika (Astri Nurdin). Mereka memiliki dua pasang anak laki-laki dan perempuan. Si sulung, Saleh (Rizky Fachrel), Fajar (Kiesha Alvaro), Tyas (Ratu Sofya), dan si bungsu, Azizah (Nayla Purnama).
Tyas diceritakan punya kelebihan yang tak lazim alias supranatural, mampu merasakan jika seorang yang meninggal adalah seorang pendosa yang akan disiksa di neraka. Kemampuan itu membuat heboh saat mereka sekeluarga tengah bertakziyah ke rumah seseorang. Tyas tiba-tiba mendapat penglihatan supranatural dan seketika berteriak-teriak mengatakan bahwa mendiang bakal disiksa.
Penggambaran kemampuan istimewa seperti itu sebetulnya terlalu vulgar. Apalagi, dalam masyarakat kita tidak biasa seseorang memaparkan kesalahan, dosa, atau kekurangan orang lain, terutama yang masih hidup, di depan orang banyak.
Sang ayah, Ustaz Syakir, menentang dan membenci kemampuan anak perempuan tertuanya tersebut karena alasan religius, yaitu dianggap musyrik. Sikap Syakir kepada Tyas juga digambarkan terlalu keras dan mudah meledak.
Ditambah lagi, ketika kemarahan sang ustaz dipicu nilai ulangan satu mata pelajaran Tyas yang buruk. Dengan penuh murka, Syakir memukul tangan Tyas, yang juga disebutnya sebagai anak tidak pintar dan malas.
Hal itu menjadi sangat kontras ketika dibandingkan dengan sikap Syakir kepada tiga anaknya yang lain, terutama si sulung Saleh. Saat Saleh digambarkan pulang dari kota, Syakir menyambut penuh sukacita, terkesan berlebihan.
Sementara itu, berkebalikan dengan suaminya, sosok Rika, si ibu, digambarkan terlalu sabar, namun pasif dan hanya mengikuti sang suami ke mana-mana. Cerita berlanjut ketika si bungsu ternyata mendapat kesempatan ikut lomba menyanyi yang memang menjadi cita-citanya walau ditentang sang ayah.
Saat sang ayah dan ibu pergi untuk satu keperluan, si sulung malah mengajak saudara-saudaranya keluar rumah mengantar Azizah ke kota untuk ikut perlombaan. Dari sini, cerita mulai terasa mengandung banyak loophole alias bolong-bolong, termasuk secara nalar.
Apalagi ketika si sulung memaksa mereka nekat menembus hujan deras menyeberangi sungai yang lebar untuk menghemat waktu walau permukaan airnya sedang naik dan deras. Di perjalanan mereka berpapasan dengan Pak Harjo (Slamet Rahardjo), salah seorang tetua desa, yang sebenarnya meminta anak-anak Syakir kembali ke rumah.
Mudah ditebak, keempat anak Syakir nekat dan bencana pun terjadi. Mereka tergulung banjir bandang, yang sayangnya secara visual ditampilkan dengan tidak terlalu meyakinkan. Setelah menghabiskan durasi hampir separuh waktu tayang film cerita baru masuk ke ”menu utama” penggambaran siksa neraka.
Walau terkesan menggampangkan, dalam adegan siksa neraka ini digambarkan berbagai macam dosa serta ancaman siksaan yang bakal diterima di neraka. Selain itu, digambarkan pula bahwa setiap anak sang ustaz ternyata punya dosa dan kesalahan yang selama ini disembunyikan dan baru diketahui kedua orangtuanya belakangan.
Sepanjang babak penggambaran siksa neraka, adegan dipenuhi kengerian suasana neraka serta siksaan yang ditimpakan. Para penghuni neraka digambarkan berpakaian compang-camping, Sebagian dibelenggu dengan rantai dan ada pula yang kepalanya dipasangi alat penyiksa berupa paku-paku raksasa yang tajam.
Salah satu adegan penyiksaan ikonik seperti digambarkan dalam versi komiknya juga dihadirkan, yaitu ketika tubuh salah seorang pendosa ditimpa setrika panas membara berukuran raksasa. Adegan ini sepertinya dibuat semirip mungkin dengan versi komik.
Hal itu lantaran visual alat setrika yang digunakan masih berbentuk setrika model lama, belum menggunakan listrik, tetapi diisi bara arang terlebih dulu saat akan digunakan. Setrika model itu populer dan menjadi bagian dari peralatan rumah tangga masyarakat di era 1980-an.
Adegan lain yang dibuat mirip dengan komik adalah saat seorang pendosa disiksa dengan cara dipotong bagian tubuhnya menggunakan gergaji raksasa atau dipotong lidahnya dengan gunting besar. Darah digambarkan muncrat dengan teriakan-teriakan kesakitan menyayat hati dari mereka yang tengah disiksa.
Semua penggambaran neraka dalam cerita dikisahkan berasal dari penglihatan ”istimewa” yang dimiliki Tyas saat tengah mati suri. Dengan begitu, apa yang ditampilkan sebenarnya memang bukan bagian dari tahap final siksa neraka yang sebenarnya, melainkan sekadar ”bocoran”. (c-hu)