05
Sun, May

Saatnya Pengendalian HIV-AIDS Geser ke Populasi Non-Kunci

Ilustrasi/Istimewa

Cerita
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Clakclik.com, 30 Desember 2022--Pengendalian HIV-AIDS mesti diperluas dari yang sebelumnya fokus pada populasi kunci ke populasi nonkunci atau masyarakat biasa. Sebab, angka orang dengan HIV di kalangan ibu hamil, pasien tuberkulosis, dan laki-laki semakin tinggi.

Baca juga: https://www.clakclik.com/73-cerita/1903-anak-dengan-hiv-dan-aids-nyaris-tak-terjangkau

Baca juga: https://www.clakclik.com/identitas/33-instansi/1500-sebentar-lagi-pati-punya-perda-hiv-aids

Populasi kunci adalah kelompok yang berpotensi menyebarkan virus HIV. Populasi kunci mencakup, antara lain, pekerja seks, waria, lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki, warga binaan pemasyarakatan, serta pengguna napza suntik. Pemerintah fokus menangani populasi ini sejak beberapa tahun lalu.

Namun, data dari Sistem Informasi HIV/AIDS dan IMS (SIHA) Kementerian Kesehatan tahun 2017 menunjukkan, setidaknya ada dua kelompok lain yang mesti diperhatikan. Kedua kelompok itu adalah ibu hamil dan pasien tuberkulosis (TB).

Jumlah ibu hamil yang terinfeksi virus HIV pada 2017 sebanyak 3.873 orang, sementara pasien TB 6.218 orang. Angka infeksi HIV di kedua kelompok ini masih signifikan pada 2021, yaitu 4.466 ibu hamil dan 4.500 pasien TB.

”Ini angka hasil monitoring atau yang ditemukan saja. Tapi, menurut saya, ini adalah tip of the iceberg (puncak gunung es),” kata Ketua Dewan Pembina Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat (YKIS) Nafsiah Mboi kepada wartawan, Kamis (29/12/2022).

Ia menambahkan, infeksi HIV pada kelompok ibu hamil cenderung tidak terdeteksi karena cakupan tes minim. Ada sekitar 5 juta kehamilan per tahun di Indonesia, tetapi jumlah ibu hamil yang dites HIV kurang dari setengahnya, yaitu 2,3 juta orang (2019), 2,4 juta orang (2020), dan 2,48 juta orang (2021). Jumlah ibu hamil yang lantas positif HIV pada 2019-2021 secara berturut-turut adalah 6.439 orang, 6.094 orang, dan 4.466 orang.

Ketua Satuan Tugas HIV Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Endah Citraresmi mengatakan, risiko penularan bagi ibu yang tidak menjalani program pencegahan HIV dari ibu ke anak (PPIA) sebesar 30-40 persen. Namun, ibu yang menjalani PPIA dengan baik bisa menurunkan risiko penularan hingga di bawah 2 persen.

Menurut data Kementerian Kesehatan tahun 2022, dari estimasi 5,25 juta ibu hamil di Indonesia, hanya 1,9 juta orang yang menjalani tes HIV. Sebanyak 4.256 orang di antaranya dinyatakan positif HIV dan yang menjalani terapi ARV hanya 1.226 orang.

Sementara itu, angka HIV di kelompok pasien TB tinggi karena berhubungan dengan infeksi oportunistik. Orang dengan HIV (ODHIV) yang putus obat atau tidak mengetahui statusnya cenderung memiliki kekebalan tubuh yang lemah. Hal ini jadi celah infeksi sejumlah patogen, termasuk HIV.

Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede Surya Darmawan mendorong publik untuk tidak ragu menjalani tes HIV. Tes mesti dijalani oleh mereka yang memiliki perilaku berisiko, seperti menggunakan napza suntik atau memiliki lebih dari satu pasangan seks.

”Ada yang tidak mau tes karena berpikir jika dia tes, maka dia selama ini berperilaku tidak benar. Ada juga yang tidak mau tes karena stigma. Pola pikir ini mesti diperbaiki. Deteksi dini seharusnya jadi kebiasaan,” kata Ede.

Tes HIV juga perlu dilakukan oleh kelompok laki-laki yang berperilaku seksual berisiko. Nafsiah mengatakan, persentase ODHIV pada laki-laki sebesar 70 persen pada 2022, sementara perempuan 30 persen. Laki-laki, baik heteroseksual maupun homoseksual, pun jadi populasi nonkunci ODHIV yang mesti diperhatikan.
”Perempuan tidak bisa menularkan (HIV) ke sesama perempuan. Tapi, lelaki bisa menularkan ke pasangannya, baik perempuan maupun lelaki,” kata Nafsiah. (c-hu)