08
Wed, May

Anak dengan HIV dan AIDS Nyaris Tak Terjangkau

Ilustrasi/Istimewa

Cerita
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Clakclik.com, 5 Januari 2022—Data Kementerian Kesehatan 2021 menunjukkan bahwa dari total orang dengan HIV dan AIDS, 3 persen atau sekitar 12.000 jiwa adalah anak-anak.

Baca juga: https://www.clakclik.com/73-cerita/1498-kasus-hiv-aids-di-pati-terus-bertambah-butuh-penanganan-serius-dan-libatkan-multi-pihak

Dikarenakan jumlahnya yang dianggap kecil, menjadikan anak dengan HIV tidak terlihat dan tertinggal dalam program penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia.

Bahkan anak dengan HIV tidak termasuk dalam populasi prioritas yang disasar dalam perencanaan konsep Strategi Rencana Aksi Nasional (SRAN) Penanggulangan HIV dan AIDS tahun 2021-2025.

Situasi ini terungkap dalam artikel Natasya Sitorus, Pegiat Isu Anak dengan HIV di Lentera Anak Pelangi di Kompas.id (4/1/2022).

Menurut Natasya, situasi ini sering dijadikan alasan tidak tersedia anggaran untuk dukungan bagi anak dengan HIV di Indonesia.

“Berdasarkan laporan National AIDS Spending Assessment (NASA-2018), dana untuk anak yatim dan rentan HIV adalah 0,16 persen dari total pengeluaran pada tahun 2018 berdasarkan kategori. Semua dana berasal dari dana publik, seperti APBN dan APBD, dan 0 persen dari dana internasional,” tulis Natasya.

Baca juga: https://www.clakclik.com/inspirasi/881-kota-pati-hotel-mewah-prostitusi-online-dan-hiv-aids

Selain itu, alasan yang sama juga dipakai untuk menjelaskan terbatasnya jenis dan sediaan obat antiretroviral (ARV) yang ramah anak. Kebutuhan yang kecil menghasilkan permintaan yang sedikit pula, dan permintaan yang sedikit tidak menarik bagi para industri farmasi untuk bersaing mendatangkan obat yang ramah bagi anak dengan HIV di Indonesia.

Jumlah yang kecil ini juga dilihat tidak memiliki nilai ekonomi. Padahal, investasi kecil ini akan menyelamatkan ribuan anak dengan HIV karena memiliki harapan hidup yang lebih tinggi dan kualitas hidup yang baik. Hal ini perlu diprioritaskan daripada perhitungan ekonomi dan administrasi saja.

Padahal, Indonesia telah lebih dari 30 tahun meratifikasi Konvensi Hak Anak serta memiliki sederet undang-undang, mulai dari UU Perlindungan Anak, UU Sistem Pendidikan Nasional, hingga UU Kesehatan Nasional, anak dengan HIV masih kesulitan memperoleh haknya sebagai manusia dan anak Indonesia.

“Sudah waktunya Indonesia melihat persoalan anak dengan HIV sebagai persoalan yang sama pentingnya dengan kelompok atau populasi lainnya. Jika anak dengan HIV tak kunjung menjadi prioritas, atau paling tidak sama penting dengan kelompok lainnya, maka anak dengan HIV selamanya akan tak terlihat dan tertinggal dalam segala upaya pencapaian Ending AIDS Epidemic 2030,” pungkas Natasya dalam tulisannya. (c-hu)