Kalangan ekonom sepakat, salah satu sebab kemiskinan adalah karena kurangnya akses kredit bagi kelompok miskin. Untuk itu, pemerintah selalu berusaha meningkatkan akses kredit bagi orang kecil. Namun, dalam praktiknya, sering kali kredit program yang dijalankan tak sampai ke kelompok miskin, dan lebih banyak menguntungkan bankir dan makelar program. Yang miskin dan rentan miskin, tak berubah nasibnya.
Saat krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 melanda, mereka yang berada di garis kemiskinan langsung terjun bebas menjadi kelompok miskin penerima bansos dari negara. Jumlah yang rentan miskin dan jatuh miskin diperkirakan sekitar 70-an juta.
Kebijakan kredit program bagi kelompok miskin sebetulnya sudah ada sejak zaman kolonial Hindia Belanda. Merespons kondisi masyarakat yang miskin akibat kebijakan liberalisasi ekonomi pada akhir abad 19, pemerintah kolonial menggelontorkan program Hulp Spaarken Bank (Bank Berbantuan), sebagai cikal bakal berdirinya Bank Rakyat Indonesia yang dirintis pertama kali di Purwokerto, Jawa Tengah.
Pada masa Orde Baru, ada banyak program skema kredit yang ditujukan untuk pelaku usaha mikro dan kecil. Ada Kredit Candak Kulak (KCK) untuk para pedagang di pasar tradisional, Kredit Investasi Kecil (KIK) bagi pelaku industri rumah tangga hingga model Kredit Usaha Rakyat (KUR) saat ini yang ditujukan bagi usaha mikro dan kecil.
"Holding" Ultra Mikro
Pemerintah melalui Kementerian BUMN, rencananya akan segera meluncurkan satu holding BUMN baru dengan nama Holding Ultra Mikro. Tujuannya, untuk memperluas akses kredit bagi masyarakat, terutama pelaku usaha mikro dan kecil yang jumlahnya 99,3 persen dari total pelaku usaha kita (Kemenkop dan UKM, 2020).
Secara nasional, rasio kredit untuk UMKM terhadap keseluruhan total kredit perbankan adalah 19 persen. Inipun didominasi usaha kecil dan menengah, bukan usaha mikro. Angkanya dari sejak 2013 stagnan tak lebih dari 20 persen.
Holding ini didirikan untuk memperluas jangkauan pasarnya. Holding dibentuk dengan menunjuk tiga BUMN yang selama ini bergerak di sektor kredit mikro. Sebagai induk perusahaan holding ditunjuk PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) serta PT Penanaman Modal Mandiri (PNM) dan PT Pegadaian sebagai peserta holding.
Pandemi Covid-19 yang telah merontokkan usaha mikro ini juga menjadi alasan yang memperkuatnya. Sebagaimana disebutkan Kemenkop dan UKM, dari 63 juta usaha mikro, 30 jutaan diperkirakan terpuruk dan menjadi penerima bansos.
Lagu lama kebijakan paket input dari sejak zaman Orde Baru hingga saat ini sebetulnya tak pernah berubah. Prinsipnya, kemiskinan salah satunya diasumsikan karena tak adanya akses ke modal bagi si miskin.
Lalu dibuatlah kebijakan akses modal seluas-luasnya. Ditambah kebijakan subsidi, bantuan sarana produksi. Sebut misalnya subsidi pupuk dan sarana produksi pertanian bagi usaha kecil di sektor pertanian.
Padahal dalam pembiayaan kredit mikro ini sebetulnya ada hal penting yang perlu diperhatikan dengan serius. Paradigma baru tentang kredit mikro itu tak hanya soal bagaimana uang itu dikucurkan. Banyak studi ilmiah menyatakan, keterlibatan para penerima kredit dalam ikut secara partisipatoris menentukan skema kebijakan kredit seperti plafon kredit, tingkat suku bunga, sistem angsuran hingga kebijakan organisasinya, akan menentukan keberhasilan program.
Keberadaan kelembagaan keuangan milik masyarakat kecil seperti koperasi dan juga lembaga keuangan mikro (LKM) demokratis sangat menentukan keberhasilan dari tujuan akses kredit bagi pengentasan kemiskinan. Bahkan turut menciptakan pemerataan ekonomi. Studi SMERU (2019) menyatakan, di wilayah yang memiliki koperasi yang berjalan efektif, tingkat kesenjangan ekonomi cukup rendah.
Akses kredit bertujuan bukan semata untuk memberikan jangkauan akses keuangan bagi si miskin, tapi lebih penting dari itu bagaimana si miskin ini dapat keluar dari kemiskinannya melalui akses keuangan itu.
Mematikan koperasi
UU No 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyatakan bahwa tujuan BUMN adalah mengejar keuntungan. Bahkan hal ini disebutkan sampai empat kali. Ini mempertegas bahwa BUMN itu tidak lagi mengemban misi "goverment service obligation" tapi murni sebagai lembaga bisnis seperti halnya bisnis swasta.
Berangkat dari sini maka tidaklah sepantasnya BUMN ini mendapatkan privelese kebijakan, apalagi jika kebijakan tersebut berdampak mematikan lembaga keuangan milik masyarakat seperti koperasi, LKM, maupun Baitul Mal Waltamsil yang selama ini telah bergerak melayani kelompok mikro ini.
Privilese itu bukan saja telah menciptakan diskriminasi, tapi juga akan melemahkan mental bankir dan berpotensi memunculkam moral hazard.
Dampak yang paling membahayakan bagi perekonomian adalah, kebijakan ini dapat mematikan lembaga keuangan masyarakat serta memunculkan monokulturalisasi
kelembagaan keuangan, dengan dominasi peran dari lembaga keuangan milik pemerintah. Kondisi ini membuat, apabila krisis ekonomi melanda, masyarakat kecil akan lebih sulit mempertahankan ekonomi mereka.
Faktanya, baru saja pemerintah mengembangkan kebijakan KUR yang disalurkan melalui bank-bank umum dengan memberikan subsidi suku bunga bagi bank, jaminan kemacetan kredit melalui dua lembaga BUMN penjamin kredit PT Jamkrindo dan PT Askrindo, itu sudah membuat koperasi dan lembaga keuangan milik masyarakat langsung kembang kempis. Apalagi jika pasar dibiarkan dipenetrasi dengan memberikan berbagai fasilitas kebijakan pemerintah.
Pemerintah seharusnya melihat bahwa lembaga keuangan yang telah hidup di masyarakat dan eksis dari sejak lama merupakan instrumen penting dalam menyelamatkan ekonomi masyarakat kecil. Sebut saja misalnya model Koperasi Kredit (Credit Union) yang telah hidup tanpa fasilitas kebijakan pemerintah dari sejak 1970-an.
Koperasi ini telah memberikan akses manfaat bagi anggotanya yang sekaligus sebagai pemilik hingga 3,2 juta orang. Kekayaan dari tabungan anggotanya mencapai Rp 36 triliun. Lembaga ini, walaupun tidak mendapat fasilitas kebijakan pemerintah, masih tetap eksis.
Padahal mereka harus bersaing dengan bank yang mendapat berbagai fasilitas istimewa dalam bentuk Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS), Dana Penempatan dan Modal Penyertaan pemerintah, lembaga jaminan kredit, talangan (bailout) ketika bangkrut.
Sedikit dari mereka yang hancur adalah koperasi abal-abal yang sebetulnya hanya memanfaatkan kelemahan regulasi dan kelengahan pemerintah dalam menegakkan regulasi dan pengawasan, bukan karena kesalahan koperasi.
Apabila lembaga keuangan yang hidup nanti hanya bank umum, maka sudah bisa dipastikan akan banyak kekosongan dari layanan keuangan bagi masyarakat. Ketika terjadi krisis keuangan sewaktu-waktu, ekonomi masyarakat juga berada dalam satu cawan rapuh.
Di berbagai negara yang lembaga keuangannya sudah banyak menjangkau masyarakatpun, varian lembaga keuangan tetap dijaga sebagai sebuah kearifan yang natural.
Ketika pemerintah mengeluarkan program yang tujuannya menjangkau masyarakat yang kemungkinan masih mengalami kesulitan akses, mestinya peran itu dipercayakan ke lembaga-lembaga keuangan yang ada di masyarakat. Mereka diposisikan sebagai pooling, bukan deliminasi.
Program apapun itu, memperkuat lembaga keuangan masyarakat, terutama koperasi, adalah sangat penting. Kelembagaan keuangan berbasis masyarakat ini tak hanya akan membuat akses kredit bagi masyarakat tepat sasaran, tapi juga penting bagi pertahanan ekonomi masyarakat dan menurunkan kesenjangan ekonomi.
Di Kanada dan Perancis, misalnya, koperasi simpan pinjam yang dimiliki nasabahnya sebagai anggota, diperkuat menjadi bank koperasi, dan bahkan menjadi bank terbaik di negara itu. Di Jerman koperasi bahkan mengisi hingga 74 persen dari lembaga keuangan yang ada.
Tugas pemerintah yang terpenting justru sebetulnya bagaimana agar ekosistem pengembangan kelembagaan keuangan itu tumbuh variatif dan tidak mematikannya.
Ditulis oleh: Suroto Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) dan CEO Induk Koperasi Usaha Rakyat
Terbit pertama kali di kompas.id (13/7/2021). Di copy paste oleh Clakclik.com untuk kepentingan edukasi publik