08
Tue, Oct

Bencana Sebagai Ancaman Keamanan

Ilustrasi / Clakclik.com

Opini
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Oleh: Hariadi Kartodihardjo; Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB.

Bencana menjadi salah satu ancaman keamanan. Karena bencana akibat kekeliruan manajemen sumber daya alam, ia seharusnya bisa dicegah.

Baca juga: Catatan Geliat Gerakan Tanggap Darurat Banjir PCNU Pati (clakclik.com)

Para sejarawan telah menafsirkan pelbagai bentuk perjuangan manusia dalam bertahan hidup. Tak hanya individu, jugakolektif, baik secara lokal, nasional, hingga global. Ancaman atas eksistensi manusia datang dari aneka rupa: kekerasan, perang, hingga bencana alam. Kekerasan dan perang bahkan menjadi satu cara dalam berebut sumber daya alam (Lele, 2008).

Kekerasan, perang, maupun bencana sesungguhnya adalah sebuah “program pemusnahan”. Bencana bisa hadir karena manusia salah dalam mengelola alam. Artinya, perang atau bencana adalah sebuah pilihan dengan hasil yang sama: kematian. Juga, karena pilihan, keduanya bisa dihindari.

Maka sebuah bencana sesungguhnya terjadi dalam ruang politik. Kendati ada jenis bencana di luar kendali manusia, misalnya banjir dan kekeringan akibat El Niño dan La Niña, manusia dituntut bisa mengatasinya. Tindakan kolektif paling efektif adalah melalui negara. Pemerintahan yang tak siap akan kesulitan dalam menangani sebuah bencana.

Ketika menulis artikel ini, saya tengah mengikuti pertemuan daring dengan tim yang menyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah. Tim ini dibentuk atas perintah Presiden Joko Widodo pada 2017 untuk merespons tuntutan masyarakat Sedulur Sikep yang berjuang mempertahankan sumber daya alam di sekitarnya dari eksploitasi pabrik semen.

Problem terbaru di masyarakat Kendeng adalah banjir. Dengan modus menaikkan nilai tanah, masyarakat menutup gorong-gorong agar lahan mereka kering. Tapi akibatnya, air melimpas ke daerah lain. Konflik ruang dan politik di tingkat tapak, rupanya, sama gawatnya dengan perseteruan politik di tingkat pusat, yakni lemahnya kekuasaan merespons konflik-konflik semacam itu di lapangan.

Dengan kata lain, bencana adalah sebuah program perang nonmiliter dengan hasil akhir sama, yakni alat untuk merebut sumber daya alam atau sebagai salah satu cara suatu kelompok mendominasi kelompok manusia lain, seperti kesimpulan Ajey Lele yang saya kutip di atas.

Dalam The Political Economy of “Natural” Disasters (2008), Charles Cohen dan Eric Werker menunjukkan problem lain dari sebuah bencana, yakni kehadiran beragam bentuk bantuan yang mendistorsi sekaligus meningkatkan kemungkinan pemerintah mengurangi investasi mencegahnya.

Pertama, efek negatif secara politik. Bila bencana mendapatkan pertolongan langsung, konflik politik akan berkurang, karena penduduk yang jadi korban tak jadi mengambil sikap oposisi kepada negara. Bantuan langsung kepada korban juga mengikis keuntungan finansial bagi pemerintah daerah.

Kedua, ada moral hazard dalam bantuan bencana. Sebab, jika para donatur bisa menyumbang untuk menangani bencana, seharusnya mereka juga bisa membantu mencegahnya melalui otoritas wilayah atau lembaga yang bertanggung jawab agar bencana itu tak terjadi.

Regulasi dalam kesiapsiagaan suda ada, asuransi juga terbentuk, tapi para penanggung jawab terhadap pencegahan bencana acap tak menjalankan prinsip-prinsipnya. Menurut Cohen dan Werker, pembiaran itu adalah desain besar dan kuat dalam perusakan sumber daya alam.

Pada 20 tahun lalu, United Nation Environment Programme (UNEP) menyatakan pemanasan global akan menyebabkan guncangan alam. Prediksi itu terbukti benar sekarang. Masalahnya, ketika bencana makin banyak, bantuan internasional juga makin banyak. Mengapa bantuan itu tak diberikan untuk mencegah bencana agar korbannya bisa sedikit?

Robert Mandel (2002) dalam Security and Natural Disasters menulis bahwa secara geopolitik dan ekopolitik bencana menunjukkan alam masih memegang kendali. Artinya, pelbagai rekayasa teknologi tak sanggup mengendalikan pergeseran lingkungan.

Secara geopolitik, pembangunan lingkungan bisa mendorong ketahanan suatu wilayah terhadap bencana. Tapi secara ekopolitik, kemampuan alam itu punya batas. Dengan kata lain, aktivitas manusia jauh lebih mematikan ketimbang perubahan alamiah lingkungan.

Maka bencana bisa dicegah sepanjang otoritas mengaturnya dengan regulasi yang memaksa atau melakukan respons cepat mencegah bencana terjadi. Seperti kata pepatah Cina: cara memenangi pertempuran adalah dengan mengenali diri sendiri dan kekuatan musuh.

Karena sumber bencana adalah manusia, melalui eksploitasi sumber daya alam, perang itu seharusnya bisa dicegah sebelum meledak