23
Tue, Apr

BERDIKARI

Ilustrasi / Clakclik.com

Opini
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Oleh: Farid Gaban | Editor in Chief The GeoTimes Online, Direktur Zamrud Khatulistiwa Foundation

“Saya memiliki keyakinan bahwa kita memiliki modal dasar yang sangat kuat untuk berdikari, berdiri di atas kaki kita sendiri,” kata Presiden Joko Widodo dalam pidato di Kongres Partai Gerindra pekan ini.

Jokowi berharap Bangsa Indonesia akan mampu memproduksi kebutuhan pangan sekaligus memperkuat ketahanan nasional khususnya di bidang pangan.

Yakin saja tidak cukup. Pernyataan Presiden itu mencerminkan senjangnya retorika dengan realitas. Antara apa yang diyakini dengan apa yang dilakukan pemerintah.

Impor kita terus naik, bahkan dalam urusan pangan. Impor beras pada era Jokowi lebih banyak dari zaman SBY maupun Megawati. Kita juga mengimpor hampir 100% gandum, yang kebutuhannya terus meningkat, demikian pula harganya yang terus naik. (Mie instan yang berbahan gandum kini berasing dengan beras sebagai makanan pokok).

Kita mengimpor gandum terutama dari Australia, Ukraina, Kanada dan Amerika Serikat. Badan Pembangunan Pertanian Amerika Serikat (USDA) menyebut Indonesia sebagai salah satu negara pengimpor gandum terbesar di dunia dengan total volume sekitar 11-12 juta ton/tahun.

Berdikari atau swasembada tak hanya menuntut kita memproduksi sendiri pangan dalam jumlah yang cukup; tapi juga mengubah orientasi pangan serta memperluas keragaman pangan.

Kita harus bertumpu pada apa yang kita punya (work with what we have). Jika kita tak menanam gandum, sudah semestinya konsumsi gandum dikurangi, diganti dengan biji-bijian dan umbi-umbian yang kita tanam sendiri. (Ironis, bahwa kita impor gandum juga untuk kebutuhan pakan ternak, dengan jumlah yang meningkat pula).

Presiden Jokowi benar: kita punya modal besar untuk mandiri pangan, mengingat kita merupakan negeri dengan keragaman hayati tertinggi di dunia (MegaDiversity).

Tapi, potensi itu sendiri tak ada artinya tanpa political will pemerintah. Berdikari menuntut kita mengubah paradigma pembangunan. Bekerja dengan apa yang kita punya. Bukan memperbanyak utang dan investasi asing yang pada gilirannya membuat kita tidak berdaulat terhadap bahkan apa yang kita makan. Kita didikte untuk mengimpor pangan asing.

Berdikari dalam bidang pangan juga menuntut pemerintah memperbaiki secara serius dunia pertanian, peternakan dan perikanan laut kita. Memberdayakan petani dan nelayan, bukan mencetak food-estate skala besar.

Presiden Jokowi benar: kita punya modal untuk berdikari. Tapi, maaf kata, Pemerintah Jokowi miskin kemauan politik untuk mewujudkan itu dalam kebijakan yang nyata.***