07
Tue, May

Di Kecamatan Sukolilo, Pati, Jawa Tengah, Kita Bisa Berjumpa dengan Orang-Orang (yang) Tidak Pernah Berjumpa Negara

Cerita
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Minggu, 20 Oktober 2019, bertepatan dengan pelantikan presiden dan wakil presiden, Clakclik.com berkesempatan mengunjungi orang-orang yang sudah berusia lanjut (lansia) yang hidup sebatang kara. Kehidupan harian mereka, rata-rata bergantung pada belas kasihan keluarga dan tetangga. Negara, dengan beraneka ragam program sosial yang dikembangkan, tak sanggup menjangkau mereka.

Kita tidak mengetahui apa sesungguhnya penyebabnya. Orang-orang yang kaya dan berpunya, leluasa mengakses program bantuan yang bukan haknya. Sementara orang-orang miskin, justru mengalami perlakuan yang tidak manusiawi saat mereka memperjuangkan hak-nya.

Di sebuah desa bernama Sukolilo; sebuah ibu kota kecamatan di Kabupaten Pati bagian ujung selatan, Clakclik.com berhasil bertemu dengan 3 lansia perempuan. Ketiganya hidup sendirian. Bahkan ada yang hanya tinggal di gubug berukuran 1,5 X 2 meter, berdinding gedek, berlantai tanah, tanpa listrik dan fasilitas MCK (mandi, cuci, kakus). Penghuninya seorang nenek berusia 90 tahun dalam keadaan buta.

Mereka, orang-orang yang terabaikan. Tak dihitung dalam cacah jiwa negara. Program-program bantuan sosial seperti PKH dan BPNT tidak satupun yang menghampiri mereka. Mereka tak pernah berjumpa dengan negara, disaat para pejabat negara berbuih menyampaikan data tentang tingkat kesejahteraan rakyat yang meningkat.

Berikut sekilas gambaran 3 sosok itu:

Pertama; Katimah (85 tahun), tinggal dirumah berdinding batu berlantai tanah tanpa jendela, tanpa listrik. Rumahnya berada ditengah hutan di perbatasan Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati dan Kabupaten Grobogan. Jarak rumah Katimah ke pemukiman warga sekitar setengah kilo meter.

Sehari-hari, Katimah bekerja sebagai buruh tani: memanen jagung, memanen kapuk randu, dan lain-lain. Ia memenuhi kebutuhan hariannya sendiri; memasak dengan tungku dan kayu bakar dibelakang rumahnya.

Katimah memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), punya KK (kartu keluarga) dan juga Kartu BPJS. Kartu itu disimpannya didalam cething, dibungus dompet lusuh berlapis plastik. Saat Clakclik.com menanyakan dokumen-dokumen itu, secara sigap ia mengambil dan menjajarnya diatas dipan kayu yang sudah tua.

Katimah tidak tahu apa gunanya kartu-kartu itu. Ia hanya tahu bahwa Kartu BPJS itu bisa dibuat berobat gratis di Puskesmas, namun Katimah tak pernah menggunakannya. Ia mengaku tidak tahu dimana Puskesmas berada. Saat sakit, ia memilih berobat kerumah bidan dan mantri dengan membayar 30-40 ribu rupiah.

Kedua; Sulipah (90 tahun). Perempuan buta ini tinggal di gubug bambu berukuran 1,5 X 2 meter. Posisinya nempel dibelakang rumah keponakannya. Sudah lebih dari 10 tahun Sulipah tinggal disitu seorang diri. Untuk kebutuhan sehari-hari, ia dibantu saudara dan tetangga. Saat sakit, biasanya bidan desa datang menolong dan tidak bersedia dibayar.

Sulipah dibantu relawan dan keluarganya pernah mengurus data administrasi kependudukannya di kecamatan. Pernah foto KTP di kecamatan. Akhirnya ia berhasil punya KTP, berharap dengan memiliki KTP, program pemerintah bisa diaksesnya. Namun hingga kini, harapan itu tak pernah terwujud.

Program-program bantuan sosial seperti PKH (program keluarga harapan), BPNT (bantuan pangan non tunai), tak pernah menghampirinya. Padahal para tetangga yang berkecukupan justru mendapatkannya. Tempat tinggal Sulipah berdekatan dengan rumah petugas PKH. Jaraknya tak lebih dari 300 meter.

Ketiga; Patemi (91 tahun). Tinggal seorang diri dirumah yang cukup lebar. Ukurannya sekitar 3 X 7 meter. Namun rumahnya hanya berbentuk kotak persegi panjang tanpa kamar. Ruang tidur, ruang makan, ruang tamu, gudang dan dapur jadi satu.

Perempuan Lansia ini mengalami gangguan pendengaran setelah sekitar 10 tahun lalu tertabrak sepeda motor dan nyaris mati. Kepalanya bocor, dan karena tak ada yang merawatnya dengan intens, luka dikepala itu kemudian infeksi. Beberapa tahun lukanya membusuk dan sempat keluar belatung dari kepalanya. Kini kepalanya sudah sembuh, tapi pendengarannya terganggu.

Kebutuhan hariannya didapatkan dari keluarga dan tetangga. Masih sanggup memasak sendiri menggunakan tungku kayu bakar. Ia mengaku memiliki 2 orang anak. Satu anak berkeluarga tinggal di Cirebon, satu anaknya lagi berkeluarga masih diwilayah Kecamatan Sukolilo tapi tak pernah menjenguknya. Kabar terakhir anaknya merantau ke Jakarta.

Sebelumnya, pada 7 Oktober 2019, Clakclik.com juga menurunkan kisah Janda Etik; seorang buruh srabutan yang harus merawat seorang lansia dan anak yang berpenyakit kusta. (c-hu)