Clakclik.com, 15 Juli 2024 — Daerah sentra-sentra beras nasional, terancam terlambat mendapatkan pupuk subsidi tahap kedua. Alokasi tahap pertama pupuk subsidi di daerah-daerah tersebut telah dan akan habis pada Juli 2024.
Penyaluran tahap kedua atau setelah ada penambahan anggaran subsidi pupuk masih belum dapat dilakukan karena masih menunggu pencairan dana dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Jika problem itu tidak segera diatasi, produksi beras nasional pada tahun ini bisa terhambat.
Masalah itu terungkap dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah yang digelar Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Senin (15/7/2024). Rapat yang dipimpin Menteri Dalam Negeri Muhammad Tito Karnavian itu dihadiri Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dan Direktur Utama PT Pupuk Indonesia (Persero) Rahmad Pribadi.
Rahmad mengatakan, tahun ini, alokasi pupuk subsidi bertambah dari 4,7 juta ton menjadi 9,55 juta ton. Per 12 Juli 2024, realisasi penyalurannya baru 3,41 juta ton atau 35,7 persen dari total alokasi pupuk subsidi.
”Namun, jika mengacu pada alokasi awal, yakni 4,7 juta ton, realisasi penyalurannya sudah mencapai 65,2 persen. Tanpa ada tambahan alokasi menjadi 9,55 juta ton, kuota awal pupuk subsidi itu bakal habis pada Agustus 2024,” ujarnya.
Kendati begitu, dalam rapat tersebut terungkap pengadaan dan penyaluran tambahan alokasi pupuk subsidi tengah terkendala dana. Meskipun telah disetujui parlemen dan pemerintah, Kemenkeu belum mencairkan dana tambahan subsidi pupuk.
Hal itu menyebabkan ratusan daerah yang sudah dan akan kehabisan pupuk subsidi pada Juli 2024 berpotensi terlambat mendapatkan pupuk. Pupuk Indonesia baru bisa menyalurkan kembali jika dana tambahan itu sudah dicairkan.
Rahmad menjelaskan, ada 478 kabupaten penerima alokasi awal pupuk NPK dan urea bersubsidi. Untuk pupuk NPK, 32 kabupaten telah kehabisan alokasi awal dan 88 kabupaten akan kehabisan alokasi pada akhir Juli 2024.
Adapun untuk urea, ada 12 kabupaten yang kehabisan alokasi awal pupuk tersebut. Selain itu, ada 71 kabupaten yang bakal kehabisan alokasi pada akhir Juli 2024.
Data Pupuk Indonesia menunjukkan, daerah yang telah kehabisan pupuk NPK bersubsidi, antara lain, berada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sulawesi Selatan. Sementara daerah yang telah kehabisan urea bersubsidi, antara lain, berada di Aceh, Sumatera Utara, Lampung, dan Sulawesi Selatan.
Untuk mengatasi problem itu, Rahmad meminta agar pencairan dana dari Kemenkeu dipercepat. Ia juga mengusulkan kembali relokasi pupuk subsidi antarkabupaten. Namun, hal itu bakal membutuhkan waktu lama karena memerlukan kembali surat keputusan (SK) kepala daerah.
”Selain itu, langkah tersebut harus disertai landasan hukum yang kuat karena akan terkait dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)," kata Rahmad.
Dalam rapat itu juga terungkap, pemerintah akan menyederhanakan rantai birokrasi pupuk subsidi menjadi satu komando atau penanggung jawab. Upaya itu menjadi solusi atas keterlambatan penyaluran pupuk subsidi akibat lambatnya proses birokrasi.
Selama ini, perencanaan, pengalokasian, dan pendistribusian pupuk subsidi melibatkan Kemenkeu, Kementan, dan Kemendagri. Selain itu, proses itu juga membutuhkan penyuluh pertanian, pemerintah provinsi, serta pemerintah kabupaten/kota.
Amran menyebut, salah satu penyebab keterlambatan penyaluran pupuk subsidi adalah lambatnya kepala daerah menerbitkan SK pengalokasian pupuk. Saat ini, tinggal 35 kabupaten yang belum menerbitkan SK itu.
”Saya berharap para bupati segera menandatanganinya, termasuk Bupati Banyuwangi. Kalau tidak ditandatangani, itu sama dengan tidak memberikan pupuk dan mematikan petani secara lansung,” ujarnya.
Rahmad mengapresiasi rencana pemerintah tersebut. Ia juga berharap pemerintah turut mengubah sejumlah tata kelola pupuk subsidi. Misalnya, perlunya penyaluran pupuk subsidi langsung ke kelompok tani mengingat selama ini harus melalui lini I, II, III, dan IV.
Selain itu, penetapan alokasi pupuk subsidi diusulkan menjadi wewenang kuasa pengguna anggaran (KPA). Selama ini, penetapan alokasi pupuk tersebut bergantung pada SK gubernur dan bupati/wali kota. (c-hu)