23
Sat, Nov

Penanganan HIV: Kesenjangan Terhadap Ibu dan Anak Masih Berlanjut

Illustrasi / Istimewa

Cerita
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Clakclik.com, 28 Nopember 2023--Kesenjangan terkait layanan HIV pada ibu dan anak di Indonesia sangat besar. Temuan kasus HIV pada ibu hamil masih rendah sehingga penularan pada bayi yang dilahirkan dari ibu dengan HIV masih terjadi. Perlu upaya komprehensif pengendalian HIV yang memprioritaskan penanganan pada ibu dan anak.

Data Kementerian Kesehatan 2022 menunjukkan besarnya kesenjangan tersebut. Dari perkiraan 5 juta ibu hamil, hanya 58 persen yang mendapatkan deteksi HIV. Dari jumlah itu, ditemukan 0,3 persen atau sekitar 7.100 ibu hamil yang positif HIV.

Kesenjangan berikutnya ditemukan pada jumlah ibu hamil dengan HIV yang mendapatkan pengobatan antiretroviral (ARV). Dari sekitar 7.100 ibu hamil dengan HIV, hanya 24 persen atau 1.700 ibu yang mendapatkan pengobatan ARV. Kondisi serupa juga ditemukan pada layanan pada bayi baru lahir dengan HIV. Akibat penanganan yang tidak optimal pada ibu hamil, penularan pada bayi masih terjadi. Padahal, jika mendapatkan terapi ARV yang optimal, penularan bisa dicegah.

Kepala Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) Hartini dalam Simposium EMTCT (Eliminasi Penularan Ibu ke Anak), Senin (27/11/2023), mengatakan, penanganan perempuan dengan HIV selama ini hanya dipandang sebagai persoalan HIV semata. Akibatnya, intervensi yang diberikan tidak spesifik memberikan layanan yang utuh untuk kebutuhan perempuan dengan HIV.

”Dukungan yang ada pada isu HIV sebagian besar juga hanya berfokus pada kelompok populasi kunci. Kebutuhan perempuan terkadang menjadi tidak diperhatikan secara penuh,” tuturnya.

Hartini menjelaskan, perempuan dengan HIV memiliki kebutuhan yang spesifik, seperti akses pada layanan HIV dan ARV, perencanaan dan pencegahan kehamilan ketika tingkat tingkat viral load (jumlah virus dalam tubuh) masih tinggi, serta kesehatan mental dari psikolog dan psikiater. Pengaduan dan penanganan kekerasan berbasis jender juga dibutuhkan. Tidak sedikit perempuan hamil yang terdeteksi positif HIV mengalami kekerasan dari pasangannya, baik kekerasan fisik, psikis, maupun penelantaraan ekonomi.

Ia menambahkan, dukungan mental juga perlu diprioritaskan dalam penanganan HIV pada ibu hamil. Stigma dan diskriminasi pada pasien HIV yang masih tinggi sering membuat ibu hamil yang pertama kali terdiagnosis HIV tidak mau membuka statusnya. Akibatnya, ia tidak mendapatkan pengobatan yang optimal. Dukungan dari pasangan, keluarga, masyarakat, dan tenaga kesehatan untuk memenuhi kebutuhannya selama masa kehamilan serta bayinya kelak tidak bisa diberikan.

Kondisi tersebut akhirnya membuat tujuan dari upaya deteksi yang sudah dilakukan tidak tercapai. Deteksi HIV pada ibu hamil amat penting agar kasus HIV pada ibu hamil bisa ditemukan sejak dini. Setelah terdeteksi diharapkan pengobatan bisa segera diberikan dengan baik. Ibu hamil yang mendapatkan terapi ARV sejak dini dapat mengurangi risiko penularan pada bayi yang dikandungnya hingga kurang dari 2 persen, sedangkan yang tidak menjalani terapi bisa berisiko menularkan pada bayinya 20-50 persen.

Direktur UNAIDS untuk Indonesia Krittayawan Boonto menyampaikan, kesenjangan akses layanan HIV terjadi pula secara geografis. Banyak daerah yang bahkan capaian penapisan HIV pada ibu hamilnya masih di bawah cakupan nasional. (c-hu)