Oleh: Hasanudin Abdurakhman | Penulis, Motivator | Tinggal di http://abdurakhman.com/
Baca juga: https://www.clakclik.com/opini/78-opini/1286-waspadai-wabah-malas-berfikir-di-medsos
Emak-emak naik motor, lampu sen ke kiri, beloknya ke kanan. Itu salah satu ilustrasi yang menggambarkan perilaku emak-emak. Ilustrasi lain, sinetron dengan cerita muter-muter, tidak masuk akal, yang ditayangkan dengan target pemirsa emak-emak.
Emak-emak digambarkan sebagai orang-orang yang rendah pengetahuan. Mereka hanya tahu soal-soal dapur dan rumah tangga. Mereka tidak tahu soal lain, dan sering kali dianggap tidak perlu tahu.
Kenapa sampai begitu? Laki-laki menjadikannya begitu. Berbagai urusan yang pelik, itu urusan laki-laki. Berbagai soal di masyarakat, serahkan pada laki-laki. Perempuan urus saja rumah, anak, dan berbagai keperluan suami.
Tidak sedikit perempuan yang tunduk pada aturan itu. Sebagian karena tidak kuasa melawannya. Tapi tidak sedikit yang menikmatinya. Terhindar dari hal-hal rumit adalah sebuah kenikmatan, karena yang rumit itu sulit.
Relakah kita, bapak-bapak maupun emak-emak, dengan citra itu? Saya tidak. Seandainya pun kita hendak tetapkan tugas-tugas mengurus rumah tangga kepada emak-emak, tentu tidak patut bila citra emak-emak seperti ilustrasi tadi. Masa iya, kita mau relakan urusan rumah tangga diserahkan kepada orang-orang yang rendah pengetahuan, juga tidak tertib dan seenaknya.
Rendah pengetahuan, tidak tertib, seenaknya, bukanlah ciri emak-emak. Itu adalah ciri orang bodoh. Orang bodoh tidak melulu terdiri dari emak-emak. Laki-laki juga banyak yang begitu. Bedanya, jarang laki-laki yang tersenyum pasrah atau bahkan riang bila diberi citra begitu. Adapun emak-emak, banyak yang pasrah, dan tidak sedikit yang riang dengan citra itu. “Namanya juga emak-emak,” kata mereka.
Ini adalah soal pendidikan dan kemauan belajar. Zaman dulu emak-emak memang relatif tertinggal dalam soal pendidikan, dibanding laki-laki. Itu diperparah lagi dengan kesibukan mereka memgurus rumah tangga, membuat mereka terkurung, tidak punya akses ke sumber pengetahuan.
Kini zaman sudah berubah. Taraf pendidikan emak-emak sudah tinggi. Sangat banyak yang mengenyam pendidikan tinggi. Sumber-sumber pengetahuan juga tersedia dalam berbagai bentuk, bisa dijangkau dengan mudah di rumah. Yang utama adalah TV dan internet.
Kalau ada emak-emak yang masih mencitrakan diri sebagai sosok yang minim pengetahuan, soalnya adalah karena malas saja. Mereka memilih untuk mengistirahatkan “otak belajar”, dan memakai otaknya untuk hal-hal lain. Tidak belajar adalah sebuah kenikmatan. Mereka larut dalam kenikmatan yang melalaikan, seperti menonton sinetron mutu rendah, sambil menikmati camilan yang membuat badan gembrot.
Banyak emak-emak yang enggan belajar agar bisa membimbing anak-anaknya belajar. Padahal anak-anak mereka baru sekolah di SD, pelajaran mereka masih mudah. “Mama sudah lupa, kamu ikut les saja, ya.” Lupa, dan tidak mau mengingatnya kembali. Mereka rela melepaskan sebuah kesempatan berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak. Mereka serahkan kesempatan itu kepada guru les.
Banyak hal positif bisa dipelajari dari rumah. Saya selalu menyarankan untuk membaca 1 artikel di internet setiap hari kepada setiap orang. One day one article. You have a smartphone. Make yourself smart with it. Jangan biarkan telepon Anda saja yang pintar, sementara Anda tetap bodoh. Saran itu juga berlaku untuk emak-emak.
Bahkan soal-soal seperti genetika, stem cell, dan kosmologi, sebenarnya bukan soal yang rumit benar, kalau orang mau membaca. Ada begitu banyak artikel populer tentang itu, di antaranya bisa dibaca melalui Wikipedia. Kalau rutin saja membaca Wikipedia setiap hari, emak-emak tidak akan lagi rendah pengetahuan.
Belajar memang memerlukan usaha. Perlu menyisihkan waktu, juga energi intelektual. Tapi begitu ia jadi kebiasaan, ia akan jadi sesuatu yang nikmat. Sebuah nikmat yang bisa ditukar dengan kenikmatan tidak belajar tadi.
Banyak emak-emak yang telah membuktikan bahwa mereka bukan makhluk yang rendah pengetahuan. Anda, emak-emak yang lain juga bisa. Itu berlaku sama dalam soal ketertiban. Emak-emak justru seharusnya menjadi pelopor ketertiban. Bagaimana Anda mendidik anak untuk tertib, kalau Anda sendiri tidak tertib?
Saya berharap menemukan perempuan-perempuan cerdas, baik yang memilih untuk meniti karir maupun yang memilih untuk tinggal di rumah.