21
Thu, Nov

Covid-19; Momentum Membangun Ketahanan Pangan Sungguhan

Ilustrasi / Clakclik.com

Opini
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Oleh: Husaini
Founder Omah Buku ‘Uplik Cilik’, Tinggal di Desa Pelemgede, Pucakwangi, Pati, Jawa Tengah

Gembar-gembor soal ketahanan pangan sudah lama didengungkan pemerintah dan sejumlah organisasi non-pemerintah di Indonesia melalui aneka program. Namun, selama itu pula rasanya masih berupa tong kosong nyaring bunyinya.

Pandemi Covid-19 memberikan pelajaran berharga soal ketahanan pangan nasional ketika negara lain tidak dapat melepas cadangan pangannya karena aneka pembatasan.
FAO; Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah mengeluarkan peringatan agar negara anggotanya menjaga ketersediaan pangan nasional masing-masing.

Dalam konteks pasokan pangan, kita harus sadari bahwa saat ini sudah terjadi gangguan baik skala global maupun nasional. Perdagangan global menjadi terbatas karena banyak negara menutup pelabuhan dan perbatasan. Sementara di dalam negeri, produksi pangan melibatkan jejaring petani, pasokan sarana produksi, pengolahan pascapanen, logistik dan distribusi, hingga perdagangan eceran. Salah satu mata rantai terhambat, pasokan pangan akan terganggu.

Kombinasi kedua hal di atas menyebabkan tidak mudah bagi negara-negara mendapatkan pangan dari pasar internasional. Situasi itu menjadi lebih berat bagi negara yang mengimpor pangan dalam jumlah besar karena penduduk yang banyak, seperti Indonesia.

Pandemi Covid-19 semakin menegaskan bahwa pemahaman tentang pangan harus kita perluas jika ingin Indonesia memiliki ketahanan dan kedaulatan pangan.
Pangan tidak dapat lagi dilihat sebatas komoditas. Pangan harus melingkupi tercukupinya nutrisi beragam, bergizi, dan seimbang. Pendekatan ini hendaknya memandu penyusunan strategi dan kebijakan menyeluruh, sistematis, serta terintegrasi, mencapai Indonesia emas 2045 sebagai negara maju.

Kita memerlukan pendekatan baru dalam memahami pangan. Tidak cukup lagi kita berhenti hanya pada tercukupinya produksi beras atau minyak makan. Sangat berbahaya jika kita menggantungkan pada satu komoditas, misalnya beras saja.

Pendekatan baru tersebut adalah melihat kecukupan karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral dalam pangan masyarakat berdasarkan tingkat sosial-ekonomi, budaya, usia, jender, dan profesi, selain sumber daya lokal.

Dalam hal ini, pilihan-pilihan rasional dan realistis jujur harus dilakukan. Misalnya, kita tidak perlu memaksakan berswasembada daging sapi karena tidak memiliki keunggulan di sana. Kita bisa mendapatkan protein hewani dari sumber lain yang kaya di Tanah Air, seperti ikan, telur, dan daging ayam.

Hal yang tidak kalah penting, ketahanan pangan juga terkait daya beli. Daya beli masyarakat harus ditingkatkan agar biaya mendapatkan pangan berkualitas tidak dibebankan kepada produsen, khususnya petani dan nelayan. Tanpa diikuti peningkatan daya beli, akan terjadi pemiskinan petani dan nelayan serta involusi pertanian.

Karenanya, penanganan pangan tidak hanya melibatkan sektor produksi, tetapi juga melibatkan sektor lain, seperti industri pengolahan, perdagangan, keuangan, teknologi, dan logistik. Semua subsistem dari hulu (onfarm) hingga hilir perlu dikoordinasikan dengan baik secara terintegrasi, mulai dari tingkat pusat hingga provinsi serta kabupaten dan kota.

Kita harus membangun ketahanan pangan sendiri, dimulai dari tingkat rumah tangga. Daerah membangun keunggulan pangannya dan memperdagangkan antardaerah. Dengan cara ini, keragaman Indonesia akan mewujud juga dalam pangan: keragaman pangan.