20
Mon, May

Lulusan SMK; Penyumbang Tertinggi Pengangguran Di Indonesia

Ilustrasi / kabaha.net

Cerita
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Clakclik.com, 12 Desember 2019—Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa pengangguran terbuka pada Agustus 2019 berjumlah 7,05 juta orang. Angka ini meningkat dari Agustus 2018 yang hanya 7 juta orang. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) tersebut didominasi oleh lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), yaitu sebesar 10,42 persen pada Agustus 2019.

Menanggapi tingginya tingkat pengangguran dari lulusan SMK, Wasekjen FSGI Satriwan Salim mengungkapkan bahwa kondisi ini disebabkan lantaran kurangnya guru mata pelajaran produktif di SMK. "Permasalahan SMK itu justru kekurangan guru mata pelajaran yang menjadi core business-nya mereka, yaitu mata pelajaran produktif," ujarnya kepada wartawan, Rabu (11/12/2019).

Satriwan mengatakan bahwa mata pelajaran produktif menjadi inti dari SMK Vokasi. Misalnya, teknik mesin, teknik industri, desain grafis, dan lainnya. Karena guru mata pelajaran produktif tidak memadai, maka pekerjaan mengajar mata pelajaran produktif dilakukan oleh guru-guru mata pelajaran adaptif. "Sehingga tidak sesuai dengan bidang keahliannya. Bagaimana lulusan SMK akan qualified, akan link and match dengan dunia industri, ketika core business vokasinya saja diajar oleh orang yang tidak profesional," lanjutnya.

Selain masalah itu, Satriwan juga mengungkapkan bahwa SMK di Indonesia mengalami kekurangan fasilitas sarana dan prasarana. FSGI menyebut kondisi ini dengan sebutan SMK Sastra. Sebab, mata pelajaran produktif diajarkan dengan teori saja, tanpa praktik. "Sebab tidak punya lab, tidak punya bengkel, jadi diceritakan saja dengan ceramah. Oleh karena itu, kami menyebutnya SMK Sastra," ungkap dia.

Selain itu, sejumlah pihak menilan bahwa SMK-SMK yang ada saat ini mengabaikan potensi lokal yang ada disekitarnya. Dampaknya, jika lulusan SMK bisa mendapatkan pekerjaan, mereka rata-rata harus meninggalkan kampung halamannya.

Oleh karena itu, sebagai salah satu solusi, pemerintah harus mendorong agar pihak-pihak yang mengelola SKM untuk kreatif membaca sumberdaya lokal disekitarnya. Misalnya SMK yang berada di wilayah pertanian perlu mengembangkan kurikulum berbasis pertanian, dan lain-lain.

Para pihak juga menyesalkan terus bermunculannya SMK yang tidak memiliki orientasi yang jelas. Bahkan, saat ini ada sejumlah SMK yang dapat dikatakan surplus atau kelebihan stok lulusan. Misalnya, SMK administrasi perkantoran, administrasi keuangan, ataupun jurusan-jurusan umum lainnya. (c-hu)