Clakclik.com, 6 September 2023— Berdasarkan catatan Strategi Nasional Pencegahan Korupsi, pada awal 2021 hingga awal 2023, kerugian negara akibat bantuan sosial salah sasaran mencapai Rp 523 miliar per bulan. Hal ini disebabkan data penerima bantuan tidak mutakhir, di antaranya masih ada aparatur sipil negara yang menerima bantuan itu.
Data penerima bantuan sosial diusulkan oleh pemerintah kabupaten/kota, lalu diverifikasi oleh Kementerian Sosial setiap bulan. Dulu data diverifikasi setiap enam bulan. Data yang telah diverifikasi akan masuk ke Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), lalu jadi basis pemberian bantuan sosial (bansos) di Indonesia.
Data penerima bantuan sosial mestinya diperbarui secara rutin karena kondisi di lapangan dinamis. Ada penerima bantuan yang meninggal, pindah, atau menikah. Ada juga yang berhasil keluar dari kemiskinan sehingga mestinya tak lagi menerima bansos.
“Ada yang malas, tidak mau update (data). Artinya, yang layak (menerima bantuan) tidak dimasukkan (datanya). Sementara yang sudah lulus atau tidak layak (menerima bantuan), tidak dikeluarkan (dari sistem data),” kata Koordinator Pelaksana Strategi Nasional Pencegahan Korupsi Pahala Nainggolan kepada wartawan, Rabu (6/9/2023).
Untuk meningkatkan akurasi penyaluran bansos, data penerima dipadankan dengan nomor induk kependudukan (NIK) sejak 2019. Pada 2019, hanya 44 persen data di DTKS yang sepadan dengan NIK. Per 2023, angka kepaduannya naik jadi 98 persen.
Pada 2021, pemerintah daerah mulai memperbaiki data penerima bansos. Tercatat ada 40 juta data yang diperbaiki. Adapun lebih dari 2,9 juta keluarga dianggap tak layak sebagai penerima bansos.
Data penerima bansos juga dipadankan dengan pihak Direktorat Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri. Hasilnya, ada 65,6 juta data yang dinyatakan tidak padan, antara lain, karena penerima bantuan meninggal dan ada data ganda.
Selain itu, ditemukan pula 23.800 aparatur sipil negara (ASN), 14.000 pengurus atau pemilik badan hukum, serta 493.000 peserta BPJS Ketenagakerjaan yang menerima bansos. Mereka seharusnya termasuk kategori tak layak menerima bansos. Data tertinggi ada di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
“Jika ASN hingga pengurus perusahaan menerima bansos, ini akan menjadi fraud. Akan ada indikasi korupsi, misalnya bisa saja dia didaftarkan, lalu bansosnya nanti dibagi dua dengan oknum,“ ucap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata melalui keterangan tertulis.
Pemerintah daerah lantas diminta memperbaiki data penerima bansos. Pahala meminta agar data hanya diisi untuk orang yang benar-benar sesuai menerima bansos. Ada beberapa kriteria penerima bansos, yaitu orang yang mengalami kemiskinan, keterlantaran, disabilitas, keterpencilan, dan korban bencana.
Menurut data dari awal 2023 hingga kini, potensi kerugian akibat penyaluran bansos yang tidak tepat Rp 140 miliar per bulan.
Setelah data diperbaiki, potensi kerugian negara akibat penyaluran bansos yang tidak tepat pun menurun. Berdasarkan data dari awal 2023 hingga kini, potensi kerugian Rp 140 miliar per bulan.
“Kami kembalikan ini ke daerah dan minta diperbaiki dalam sebulan,” ujar Pahala yang juga Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK.
Menteri Sosial Tri Rismaharini menyatakan, pihaknya dan pemerintah daerah telah menyatakan 2,2 juta keluarga penerima manfaat (KPM) tidak layak menerima bansos. Sebanyak 41 juta data juga telah berhasil diperbaiki, dan ada 21 juta data usulan baru oleh pemerintah daerah. Ia menambahkan, per Agustus 2023, ada 68 juta data penerima bansos yang ditidurkan.
Adapun masyarakat dapat berperan di pengawasan data penerima bansos. Masyarakat bisa mengajukan orang yang dinilai layak menerima bansos, serta yang dinilai tak layak menerima bansos, melalui aplikasi cekbansos.kemensos.go.id.
“Cukup banyak masyarakat yang merasa bahwa bansos tidak tepat sasaran. Yang miskin tidak dapat, yang kaya justru dapat. Dengan fitur ini, masyarakat bisa mengajukan DTKS sendiri dan kami akan memeriksa kelayakannya,” ucap Risma lewat keterangan tertulis. (c-hu)