Clakclik.com, 3 Nopember 2023 — Kombinasi El Nino dan Indian Ocean Dipole atau IOD positif memperkuat intensitas kemarau dan kekeringan. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika melaporkan, hingga pertengahan Oktober 2023, sebagian wilayah di Indonesia telah mengalami hari tanpa hujan berturut-turut lebih dari 60 hari.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam keterangan tertulis, Kamis (2/11/2023), mengingatkan, dampak lanjutan dari kombinasi El Nino dan IOD positif menjadi pemicu kekeringan di Indonesia. Fenomena tersebut memengaruhi sejumlah sektor, di antaranya pertanian, sumber daya air, kehutanan, perdagangan, energi, dan kesehatan.
El Nino moderat (+1.719) dan IOD positif (+2.014) masih bertahan. ”BMKG dan beberapa lembaga iklim memprediksi El Nino terus bertahan pada level moderat hingga periode Desember 2023 sampai Januari-Februari 2024, sementara IOD positif akan terus bertahan hingga akhir tahun 2023,” kata Dwikorita dalam rapat bersama Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) Republik Indonesia.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengingatkan dampak lanjutan dari kombinasi El Nino dan IOD positif menjadi pemicu kekeringan di Indonesia. Fenomena tersebut memengaruhi sejumlah sektor, di antaranya pertanian, sumber daya air, kehutanan, perdagangan, energi, dan kesehatan.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengingatkan dampak lanjutan dari kombinasi El Nino dan IOD positif menjadi pemicu kekeringan di Indonesia. Fenomena tersebut memengaruhi sejumlah sektor, di antaranya pertanian, sumber daya air, kehutanan, perdagangan, energi, dan kesehatan.
Kondisi kekeringan di wilayah Kec. Pucakwangi, Kab. Pati, Jateng pada Oktober 2023 lalu. Hingga berita ini diturunkan kondisi kekeringan semakin parah / Dok. Clakclik.com
Hari tanpa hujan kategori ekstrem panjang, yaitu lebih dari 60 hari, terpantau terjadi di wilayah Lampung, Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTT, NTB, Kalteng, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua. Sementara hari tanpa hujan terpanjang tercatat selama 176 hari terjadi di Sumba Timur dan Rote Ndao, NTT.
Menurut Dwikorita, kekeringan juga berdampak terhadap sektor perdagangan, yaitu terjadinya lonjakan harga bahan pangan. Di sektor kehutanan, kekeringan mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan sementara pada sektor energi, situasi tersebut menekan jumlah produksi energi yang bersumber dari PLTA.
”Sementara di sektor ketahanan meningkatkan risiko kesehatan berkaitan dengan sanitasi dan ketersediaan air bersih untuk di konsumsi dan kebersihan. Bagi daerah yang mengalami karhutla, kondisi ini juga dapat berakibat pada polusi udara dan memicu terjadinya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA),” katanya.
Dwikorita merekomendasikan sejumlah strategi yang dapat diambil pemerintah, di antaranya melalui manajemen air yang efisien untuk memastikan pasokan air yang cukup untuk pertanian dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. (c-hu)