21
Thu, Nov

Salah Kaprah Berkepanjangan Soal CSR *)

Ilustrasi / Istimewa

Opini
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Oleh: Hasanudin Abdurakhman; Pekerja, Pendidik, Motivator

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta agar mereka dilibatkan dalam penyaluran dana CSR. Ini adalah puncak kekonyolan yang bersumber dari salah kaprah orang Indonesia tentang Corporate Social Responsibility (CSR). Yang segera terpikir oleh orang-orang ketika mendengar istilah CSR adalah uang. Lebih parah lagi, CSR dianggap dana yang bisa dipakai sesuka hati, tanpa pertanggungjawaban. Alih-alih menjadi bentuk tanggung jawab korporasi, CSR sering dipakai untuk hal-hal yang tidak bertanggung jawab.

Yang ada di benak anggota DPR itu mungkin adalah bagaimana mendapatkan nama atau citra positif di depan calon pemilih di daerah pemilihan tempat mereka berasal, dengan menabur uang. Itu adalah praktik yang biasa mereka lakukan. Kini mereka ingin melakukannya dengan cara yang lebih mudah, yaitu tidak pakai uang sendiri.

Bagi banyak orang di Indonesia, CSR memang nyaris melulu soal uang. Dalam bahasa bakunya disebut tanggung jawab filantropi. Dana CSR dianggap bukti kebaikan hati perusahaan, yang rela menyisihkan sejumlah uang, berbagi kepada masyarakat. Dengan mengeluarkan dana itu perusahaan sudah bisa dianggap mulia.

Tanggung jawab filantropi sebenarnya ada di puncak piramida dalam konsep CSR. Artinya, sebelum sampai ke situ, ada lebih banyak tanggung jawab yang harus ditunaikan oleh perusahaan. Berbagai tanggung jawab itu tidak bisa diabaikan dengan jalan pintas dengan mengeluarkan dana filantropi tadi. Tapi sekali lagi, di negeri ini orang hanya peduli soal dana tadi. Tak banyak yang tidak tahu soal apa saja kewajiban korporasi yang harus lebih dahulu mereka penuhi.

CSR, sebagaimana makna literalnya adalah tanggung jawab sosial yang harus dipikul oleh perusahaan yang melakukan kegiatan bisnis. Setiap kegiatan bisnis memiliki dampak positif dan negatif kepada masyarakat. Perusahaan bertanggung jawab untuk memastikan adanya dampak positif, dan menanggulangi dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan bisnis mereka.

Tanggung jawab utama yang merupakan fondasi dari piramida CSR adalah tanggung jawab ekonomi, yaitu tanggung jawab korporasi untuk meraih laba. Korporasi harus memastikan dirinya bertahan, membayar gaji kepada karyawan, memenuhi hak-hak karyawan, memproduksi barang/jasa yang diperlukan oleh masyarakat pelanggan mereka. Juga memenuhi berbagai tanggung jawab ekonomi kepada negara, misalnya membayar pajak.

Konsekuensi dari tanggung jawab ini adalah manajemen perusahaan harus bekerja keras untuk memastikan bahwa perusahaan meraih laba. Mereka tidak sekadar bertanggung jawab kepada pemegang saham, tapi juga kepada masyarakat.

Tanggung jawab berikutnya adalah tanggung jawab legal/hukum. Perusahaan wajib memastikan seluruh kegiatan bisnis mereka dilakukan dengan memenuhi segenap hukum berserta peraturan turunannya. Tidak boleh perusahaan melakukan bisnis dengan melanggar hukum dalam bentuk apapun.

Dunia bisnis global saat ini sangat memperhatikan aspek antikorupsi dan antimonopoli sebagai bagian dari kebijakan tanggung jawab legal mereka. Banyak perusahaan yang menerapkan prinsip zero tolerance atau nol toleransi terhadap praktik-praktik korupsi dan monopoli. Prinsip seperti ini belum banyak diterapkan oleh perusahaan-perusahaan Indonesia.

Pada posisi tertinggi dalam piramida CSR tadi ada tanggung jawab etik. Perusahaan harus memastikan aktivitas bisnisnya tidak melanggar etika. Etika adalah hal-hal yang terkait benar salah, patut dan tidak. Sebagian dari permasalahan etika sudah dirumuskan dalam bentuk hukum dan peraturan. Tapi ada yang tidak, atau belum. Melaksanakan tanggung jawab hukum artinya perusahaan sudah melaksanakan sebagian tanggung jawab etiknya.
Tapi itu saja tidak cukup. Perusahaan tetap berkewajiban menjaga agar kegiatan bisnisnya tidak melanggar etika, walaupun pada praktiknya tidak ada hukum yang dilanggar.

Baik perusahaan maupun masyarakat salah kaprah soal CSR. Tempo hari terjadi polemik soal perusahaan rokok yang memberikan beasiswa untuk pembinaan olah raga. Banyak orang bertepuk tangan membela perusahaan ini karena dianggap telah berjasa dalam melakukan pembinaan atlet. Betul bahwa perusahaan itu telah berjasa dengan mengeluarkan dana yang tidak sedikit.

Tapi pernahkah masyarakat mengkaji dengan kritis, misalnya, soal apakah perusahaan itu melanggar etika atau tidak dalam berbisnis? Apakah, misalnya, perusahaan itu tidak menjadikan anak-anak sebagai target pasar mereka? Apakah iklan-iklan mereka tidak membuat masyarakat abai terhadap kesehatan? Apakah produk mereka tidak membuat anggota masyarakat kecanduan, sehingga mengabaikan hal-hal yang lebih mendasar dalam belanja keluarga? Hal-hal seperti ini luput dari perhatian masyarakat.

Tidak sedikit pula perusahaan yang mencampurkan kegiatan CSR dengan kegiatan promosi. CSR bukan promosi produk maupun korporasi. Hal-hal yang mengandung tujuan promosi tidak dapat dihitung sebagai CSR. Masyarakat lagi-lagi harus kritis menilai itu.

Yang paling penting, dana CSR jangan sampai jadi ajang korupsi. Dengan pola pikir bahwa dana CSR adalah dana yang bebas dipakai tanpa pertanggungjawaban, banyak pihak membidik dana itu. Orang-orang di sekitar perusahaan, mulai dari lurah dan perangkatnya, organisasi pemuda kampung, sampai ke orang-orang yang mengaku pegiat LSM sering menodong perusahaan untuk meminta dana CSR. Sebagian disalurkan ke masyarakat. Sebagian lagi mereka ambil untuk mereka sendiri.

Perusahaan tidak selalu jadi korban penodongan. Tak jarang perusahaan mengeluarkan dana CSR dalam rangka membungkam orang-orang sekitar atas praktik kotor yang mereka lakukan. Dalam hal ini CSR tidak lagi merupakan bentuk tanggung jawab perusahaan, melainkan sebaliknya, jadi alat untuk tidak bertanggung jawab.

Konsep CSR yang sahih ini belum dituangkan dalam bentuk UU di negeri ini. DPR mungkin tidak tertarik untuk merumuskannya. Mereka hanya tertarik pada uangnya.

*) Artikel ini pertama kali terbit di detik.com, 6 Juli 2020.