24
Sun, Nov

“The New Normal” Pasca Covid-19

Ilustrasi / Clakclik.com

Opini
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Oleh: Husaini
Founder Omah Buku 'Uplik Cilik', tinggal di Desa Pelemgede, Kecamatan Pucakwangi, Kabupaten Pati, Jawa Tengah

Awalnya, semua orang mengikuti dengan tegang pengumuman perkembangan jumlah penderita, berapa yang sembuh dan berapa yang meninggal, berapa dan dimana orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP) dan juga orang tanpa gejala (OTG). Zona merah, kuning, hijau di satu wilayah menjadi perhatian semua orang. Kita semua berada dalam kekhawatiran yang mendalam.

Awalnya, kita pergi tidur dengan harapan virus ini akan hilang dalam waktu cepat. Namun, harapan ini ternyata tidak kunjung terkabulkan, bahkan semakin parah. Diperparah pula dengan kondisi finansial yang tidak menentu. Ada yang tidak jelas apakah masih bisa meneruskan bisnisnya, ada yang terkena pemotongan gaji, bahkan ada yang dirumahkan tanpa gaji.

Pertanyaannya, apakah kita tidak berusaha mengolah batin untuk menerima kenyataan jika situasi ini akan berlangsung lebih lama daripada perkiraan kita? Selain itu, bagaimana cara hidup kita bila semua ini benar-benar berakhir? Apakah kita akan kembali hidup seperti sedia kala? Apakah kita tidak berusaha beradaptasi dengan keadaan ini dan keluar dengan semangat baru?

Dari setiap krisis, sebenarnya kita bisa mendapatkan pelajaran hidup tertentu, yang bila dipelajari dapat mengubah hidup kita menjadi lebih baik. Ini adalah kesempatan kita untuk belajar dan berubah. Bisakah kita menganggap bahwa krisis ini adalah uang sekolah yang demikian besar nilainya agar kita naik kelas menjadi manusia dengan mutu yang lebih baik?

Krisis ini memang membuat orang berhenti, bukan hanya berhenti bepergian maupun beribadah bersama. Namun, di sini, kita berhenti untuk berefleksi dan memikirkan apa yang benar-benar esensial. Kita memang tidak bisa lagi berkumpul dan makan bersama merayakan perayaan agama, tetapi diajak untuk berdialog lebih intens dengan pencipta kita. Kita seolah diultimatum oleh semesta untuk mempelajari cara hidup baru.

Pelajaran pertama dalam kondisi sekarang ini sebenarnya adalah memperkuat rasa syukur bahwa kita masih bisa melihat udara luar dan bisa bernapas dengan lancar. Kita memang merasa rindu dengan kehidupan sebelum ini, tetapi sekarang kita belajar untuk lebih menghargai kehidupan.

Kita juga lebih menghargai arti kemanusiaan dan kesehatan sehingga bersedia mengurung diri tidak keluar rumah demi kesehatan masyarakat luas. Selain itu, kita juga belajar arti kebersihan yang dulu sering diabaikan seperti mencuci tangan.

Inilah masa ketika kita benar-benar kembali ke keluarga inti, menghargai kebersamaan serta komunikasi satu sama lain. Inilah saat yang baik untuk belajar mengerem, melepas, dan menyalurkan emosi pada saat yang tepat. Pertemanan yang biasanya kita anggap sudah lumrah, sekarang terasa demikian berharga.

Melalui hidup di rumah, kita merasakan betapa mudah, murah, sehat, dan lezatnya makanan rumah. Kehidupan domestik seolah lahir kembali dan penghuninya pun menikmatinya.

Kita juga terenyak menyadari betapa selama ini sudah membeli terlalu banyak, jajan terlalu banyak dan mengonsumsi barang yang tidak kita butuhkan. Kita tidak tahu bagaimana kita akan memakai semua pakaian, sepatu, tas dan aksesori yang kita miliki. Sedangkan sesungguhnya kita hanya butuh beberapa potong saja.

Hal yang juga tidak kalah pentingnya adalah betapa kita jadi lebih bisa menghargai alam. Burung yang bebas bernyanyi, polusi berkurang, dan langit pun cerah. Tidakkah kita setuju bahwa semesta sedang mendapat kesempatan untuk berbenah, dengan bantuan manusia yang juga sedang berusaha membenahi diri sendiri.

Banyak meme di media sosial yang menanyakan apa yang akan kita lakukan bila ancaman Covid-19 ini berlalu. Jawabannya macam-macam. Ada yang akan segera pergi melancong ataupun sekadar meneguk kopi di kafe kesayangannya. Pertanyaannya, apakah kita tidak ingin meneruskan gaya hidup lebih sehat yang sudah dipelajari dari masa isolasi ini?

Beberapa kebiasaan yang sudah terbentuk akan menjadi the new normal setelah krisis ini. Orang yang cerdas akan mengubah gaya hidup yang berlebihan dan tidak perlu. Orang pun akan lebih menghargai lingkungan.

Hal-hal yang dipelajari pada masa krisis yang membuat hidup kita lebih balance tentunya bisa diteruskan. Kita sudah menjangkau rapat-rapat, diskusi-diskusi, training-training, konser-konser dan lokakarya-lokakarya secara digital melalui aneka media sosial. Ini bukti bahwa kita yang tadinya terpaksa digital sekarang sudah mulai terbiasa dengan gelombang digitalisasi.

Kini, sesungguhnya kita telah memasuki landasan kehidupan yang berbeda. Saat ini adalah waktu yang tepat untuk memanaskan mesin menuju tinggal landas ke new normal.

Yang juga harus dipahami para pemangku negeri ini adalah bahwa new normal bukanlah sebuah proyek, bukan intruksi-instruksi. New normal adalah gaya hidup, adalah budaya; perlu persiapan dan latihan-latihan, pembiasaan-pembiasaan. Dalam konteks itu-lah warga membutuhkan dukunga: infrastruktur, logistik dan kebijakan.