Clakclik.com, 8 Maret 2020—Tiga tahun terakhir, perubahan mendasar terjadi di lahan petani padi di Kecamatan Pucakwangi dan sekitarnya. Perubahan terjadi saat panen padi tiba: sawah menjadi sepi.
“Sekarang, saat panen padi, sawah hanya dihuni sebuah mesin panen seperti monster, dua atau tiga operator dan pemilik sawah atau penebas (tengkulak padi yang membeli gabah saat masih di sawah dengan cara menaksir luas lahan-red); sepi. Beda dengan waktu dulu, saat panen, sawah ramai, semua orang bisa kerja dan bergembira,” Keluh Anton, Buruh Tani Muda asal Desa Kedumulyo, Kecamatan Sukolilo, Pati, Minggu (7/3/2020).
Komentar yang hampir sama juga disampaikan Suhud (43 tahun), Buruh Tani asal Desa Pelemgede Kecamatan Pucakwangi, Pati. Ia menilai bahwa mekanisasi pertanian di wilayah petani gurem seperti di wilayah desanya dianggap tidak cocok karena merampas pekerjaan banyak orang: buruh tani.
“Kalau dulu, saat panen sawah ramai, buruh tani dan petani pergi ke sawah memanen padi. Perkampungan jadi sepi karena semua orang ke sawah. Kalau sekarang sama saja perkampungan jadi sepi, tapi bukan ditinggal warganya pergi ke sawah melainkan merantau, entah diluar kota maupun luar pulau. Para buruh tani harus pindah haluan pekerjaan. Pekerjaan mereka sudah tergantikan oleh mesin,” Kata Suhud.
Siti Aminatun (42 tahun), pedagang pakaian di Pasar Desa Pucakwangi mengaku memang ada perubahan drastis musim panen sekarang dibanding musim panen tahun-tahun sebelumnya. “Kalau dulu ramai waktu panen, anak-anak beli baju baru dan sepatu. Sekarang sepi. Musim panen tidak berpengaruh pada penjualan. Mungkin karena tidak ada orang kerja seperti dulu,” Kata Aminatun.
Pengakuan yang sama disampaikan oleh Hany (31 tahun), pedagang ikan di Pasar Desa Pucakwangi. Ia mengaku bahwa omset jualan ikan tidak naik meski panen raya. “Sudah sekitar dua tahun begini kondisinya; sepi. Kalau dulu, saat petani panen. Kami pedagang ikan juga ikut panen. Jualan ikan laris manis,” Kata Hany.
Aktivis Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI), Suyitno menilai bahwa memang dengan menggunakan treser, panen padi menjadi lebih simple, cepat, tidak ribet, namun dengan model panen seperti itu, dampak sosialnya besar. “Modal sosial masyarakat petani jadi tergerus. Petani kehilangan sisi solidaritas dan kegotong-royongan dalam memanen padi. Semua jadi sendiri-sendiri. Padahal budaya agraris itu kan kebersamaan, gotong royong dan saling bantu. Untuk kasus panen padi, semua budaya baik itu digerus oleh hadirnya treser,” Kata Suyitno.
Suyitno menambahkan bahwa akibat kehadiran treser, panen raya tidak menghadirkan efek domino di desa. Perputaran uang hanya terbatas pada pemilik sawah dan cukong treser serta beberapa orang operator. "Padahal, dulu waktu panen padi masih menggunakan tenaga manusia, semua orang di desa bisa pegang uang. Pasar dan warung di desa semua bisa hidup dan bergairah.
Menurut Suyitno, mekanisasi pertanian itu harusnya dikembangkan di sector agro industry atau industry pertanian. Misalnya di luar Jawa dengan lahan yang luas. “Dari sisi manfaat, pasti ada manfaatnya. Tapi kalau di Jawa kan menurut sensus rata-rata petani hanya menguasai 0,5 hektar lahan. Tidak cocok dengan program mekanisasi pertanian,” Ujar Suyitno.(c-hu)