05
Wed, Feb

Femisida Kian Mengkhawatirkan

Cerita
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Clakclik.com,4 Desember 2024 — Femisida atau pembunuhan pada perempuan karena ia perempuan dinilai merupakan bentuk kekerasan berbasis jender paling ekstrem, amat merendahkan dan menjatuhkan martabat perempuan sebagai manusia. Meski setiap saat terjadi, femisida ini belum dikenal masyarakat, terutama aparat penegak hukum.

Selama ini femisida dipandang penegak hukum sebagai kasus kriminal atau pembunuhan biasa. Akibatnya saat ada perempuan atau kelompok rentan seperti transpuan mengalami penyiksaan berlapis berujung pada pembunuhan, publik dan penegak hukum menganggap itu sebagai hal biasa sehingga tak ada pendokumentasian kasus ini.

”Fenomena femisida makin mengkahwatirkan kita,” ujar Wakil Ketua Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Olivia Chadidjah Salampessy, pada temu media bertema ”Femisida di Indonesia Bukan Pembunuhan Biasa”, di Jakarta, pada Selasa (3/12/2024).

Diskusi media bertajuk ”Femisida di Indonesia: Bukan Pembunuhan Biasa” diadakan Komnas Perempuan berkolaborasi dengan Jaringan Masyarakat Sipil untuk Advokasi Kebijakan Adil Gender, dalam rangka Kampanye 16 Hari Antikekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) 2024.

Menurut Olivia, pemantauan Komnas Perempuan setiap tahun menempatkan femisida intim, yaitu pembunuhan yang dilakukan suami, mantan suami, pacar, mantan pacar, atau pasangan kohabitasi, sebagai jenis femisida tertinggi.

Indikasi femisida kuat tergambar dalam pantauan media dalam periode empat tahun (tahun 2020-2023) yang menunjukkan tingginya kasus femisida. Pada tahun 2020 terpantau 95 kasus femisida, pada 2021 (237 kasus), pada 2022 (307 kasus), dan pada 2023 (159 kasus).

Data tersebut menunjukkan indikator femisida berkembang seiring perkembangan pengetahuan femisida. ”Pantauan tiap tahun menempatkan femisida intim sebagai jenis femisida yang tertinggi,” tegas Olivia.

Kendati demikian, pendokumentasian yang tepat terhadap kasus kekerasan pada perempuan yang berujung pada kematian luput. Sebab, tindak kekerasan tersebut kerap dianggap sebagai kasus kriminal atau pembunuhan biasa.

Hal tersebut menyebabkan dimensi kekerasan berbasis jender tak digali secara mendalam. Akibatnya, motif karena ia perempuan, pola kasus, potensi femisida akibat eskalasi dan berulangnya kekerasan, serta dampaknya pada keluarga korban luput dan terabaikan.

Karena itu media diajak untuk bersama-sama berperan aktif dalam membangun pemahaman yang lebih luas tentang persoalan femisida di Indonesia, terutama dari perspektif perempuan dan Hak Asasi Manusia.

Nur Jannah, dari Jaringan Masyarakat Sipil (JMS) untuk Advokasi Kebijakan Adil Gender menilai diskusi tersebut penting. Sebab, selama ini publikasi kasus-kasus femisida sering kali lebih mementingkan kepentingan media sendiri, untuk memancing pembaca (clickbait).

Pada diskusi itu hadir sebagai pembicara yakni Rainy Hutabarat (Komnas Perempuan), Nur Khofifah (Jakarta Feminist), Rr Ayu Hermawati (Direktur LBH APIK Semarang), Lia Andriyani (Direktur Manuwani), dan Vanessa Chaniaga (Program Officer Sanggar Swara).

Nur Khofifah, menyatakan femisida amat berbeda dengan pembunuhan biasa. Jakarta Feminist mulai mendokumentasikan kasus femisida melalui penelusuran berita di kanal daring sejak 2016-2017 dan menemukan ada 361 kasus Femisida. ”Term femisida belum banyak digunakan teman-teman media,” tuturnya.

Pada 2023, Jakarta Feminist mendata ada 180 kasus femisida di 38 provinsi dengan total 187 korban dan 197 pelaku. Dari 38 provinsi tersebut ada 3 tiga provinsi (Papua Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo) yang tak ditemukan berita femisida, kemungkinan karena tidak ada kata kunci femisida.

”Kita menduga itu sebagai femisida. Namun di dalam media tidak memberikan informasi rinci mengenai motifnya dari sumber kepolisian, keluarga dan aparat penegak hukum lainnya,” tuturnya.

Selain itu, Nur menyatakan, pihaknya hingga kini pihaknya belum menemukan kasus femisida dengan jeratan hukum menggunakan Undang -Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Rainy menegaskan sangat penting bagi publik untuk mengenali istilah atau diksi femisida. Dengan demikian, masyarakat memahami apa yang dimaksud dengan femisida.

”Perundang-undangan nasional belum mengenali diksi femisida atau pembunuhan berbasis jender, meski kata ini sudah terdaftar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia daring keluaran Pusat Bahasa,” tegas Rainy.

Minimnya pemahaman soal femisida menyebabkan pendataan terpilah pembunuhan berbasis jender belum tersedia di Mahkamah Agung, Kepolisian, dan Badan Pusat Statistik. Data pembunuhan perempuan dan laki-laki tercampur, dikenali sebagai pembunuhan umumnya. (C-hu)