Clakclik.com, 15 Nopember 2024 — Pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah atau PLTSa di berbagai kota sebagai salah satu proyek strategis nasional menyisakan sejumlah persoalan. Pembangunan PLTSa tidak mengoptimalkan pengelolaan sampah, tetapi justru menimbulkan pencemaran udara akibat sisa abu pembakaran hingga konflik dengan masyarakat lokal.
Lihat juga: https://www.youtube.com/watch?v=2U5ZpInRWFM&t=206s
Hal tersebut terangkum dalam laporan bertajuk ”Menabur Benih Kerusakan” yang merupakan kajian proyek strategis nasional (PSN) PLTSa di Indonesia yang disusun Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).
Manajer Kampanye Polusi dan Perkotaan Walhi Nasional Abdul Ghofar mengemukakan, PLTSa mungkin kurang disorot sebagai salah satu PSN karena menjadi bagian dari program infrastruktur ketenagalistrikan. Namun, proyek PLTSa tersebut tersebar di berbagai kota dan terus dipromosikan pemerintah sehingga mendorong Walhi untuk melakukan kajian ini.
Menurut Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan PSN, pembangunan PLTSa pertama kali difokuskan di tiga kota. Kemudian pembangunan PLTSa diperbanyak di 12 kota sesuai Perpres No 35/2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
Laporan ini dikerjakan selama sembilan bulan sejak Maret hingga November 2024. Walhi mengkaji dampak dari proyek PLTSa ini dengan mengambil empat studi kasus, yaitu di Jakarta, Bandung (Jawa Barat), Surakarta (Jawa Tengah), dan Surabaya (Jawa Timur).
”Dari proses yang terjadi di empat kota tersebut, setidaknya dua kota yang proyeknya sudah berjalan itu yang muncul bukan kemanfaatan lingkungan atau optimasi dalam pengelolaan. Proyek ini justru menimbulkan polusi udara dan konflik dengan masyarakat atau pemulung,” ujar Ghofar saat memaparkan hasil kajian tersebut, Kamis (14/11/2024).
Walhi menemukan fasilitas PLTSa di empat kota tersebut tidak adaptif lintas waktu dan program. Sebagai contoh di Surakarta, fasilitas terindikasi menggunakan sampah dari wilayah lain untuk menyeimbangkan komposisi sampah agar dapat terolah oleh PLTSa.
Kemudian Walhi juga menemukan adanya model bisnis yang cost intensive (biaya yang mahal) dan sarat risiko pailit. Contohnya di Jakarta dengan total biaya modal dan operasional fasilitas yang di luar kapasitas finansial Jakpro dan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta sehingga meningkatkan risiko fasilitas untuk gagal operasi.
Selain itu, Walhi juga menyoroti proyek PLTSa di seluruh wilayah studi kasus memiliki komposisi sampah organik yang paling dominan. Akan tetapi, dalam kondisi ini, melakukan proses termal akan sulit karena sampah tidak memadai untuk menjadi modal PLTSa.
Terlepas dari pembangunan PLTSa ini, persoalan sampah di Indonesia tetap harus diselesaikan. Sebab, berdasarkan data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup, setiap tahun Indonesia diperkirakan menghasilkan 63,8 juta-77,7 juta ton sampah dari kegiatan domestik. (c-hu)