Clackclick.com, 21 Januari 2024--Ombudsman Republik Indonesia menemukan tindakan malaadministrasi dalam prosedur penyaluran bantuan sosial Program Keluarga Harapan oleh pemerintah. Hal itu terjadi pada proses verifikasi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial karena tidak ada musyawarah desa atau kelurahan pada tahapan awal pengusulan data penerima.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan, verifikasi data yang dilakukan terkait Program Keluarga Harapan (PKH) tidak sesuai dengan ketentuan umum dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Dalam aturan itu disebut bahwa verifikasi data penerima harus memastikan proses usulan data telah dilakukan sesuai dengan prosedur dan memastikan data yang telah dikumpulkan diperbaiki sesuai dengan fakta di lapangan.
Penyimpangan prosedur terjadi karena tidak melalui tahapan musyawarah kelurahan atau desa. Namun, Robert menyebutkan hal ini menjadi kewenangan pemerintah daerah melalui perangkat desa untuk memperbarui DTKS masyarakat di wilayahnya.
”Ini berawal dari laporan kasus demi kasus dari masyarakat, tetapi kalau sudah berkali-kali bukan kasus lagi, sudah sistemik,” kata Robert dalam diskusi publik bertajuk ”Bansos PKH: Tata Kelola dan Perbaikan ke Depan” di kantor Ombudsman RI, Jakarta, Kamis (18/1/2024).
Masalah ini menjalar hingga ke proses selanjutnya saat petugas dinas sosial kabupaten atau kota memverifikasi dan memvalidasi data karena data yang dikumpulkan tidak sesuai fakta di lapangan. Tindakan inkompeten dalam penetapan graduasi, pembaruan data, dan pemadanan data penerima bansos PKH ini menyebabkan penyaluran tidak tepat sasaran.
Kepala Pemeriksaan Keasistenan Utama VI Ombudsman RI Ahmad Sobirin menjelaskan, Kementerian Sosial sebagai kementerian penyalur bansos PKH perlu mengubah mekanisme pembaruan DTKS dari sebelumnya berbasis usulan musyawarah desa atau kelurahan menjadi pengajuan surat pernyataan tanggung jawab mutlak (SPTJM) dari kepala desa atau lurah. Namun, harus melalui konsultasi dahulu dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) setiap enam bulan sekali dalam forum musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes) setiap Februari dan musyawarah desa pada Juli setiap tahun.
Kemensos juga perlu mendorong pemerintah daerah untuk memberikan dukungan dana melalui dinas sosialnya agar mekanisme verifikasi dan validasi lapangan terhadap data penerima bansos lebih optimal. Sebab, instrumen itu juga masuk dalam APBD. Di sisi lain, proporsi pendamping sosial dengan jumlah keluarga penerima manfaat juga perlu seimbang.
”Kami meminta Kemensos berkoordinasi dengan pihak Kementerian Dalam Negeri yang menjalankan fungsi pada Bina Pemerintahan Desa dan Keuangan Daerah untuk memastikan pelaksanaan input, verifikasi, dan validasi DTKS dialokasikan dalam APBD,” kata Ahmad.
Staf Khusus Menteri Sosial Bidang Pengembangan SDM dan Program Suhadi Lili mengakui, permasalahan ini sering kali dipengaruhi oleh faktor politik anggaran di tingkat pemerintah daerah. Maka dari itu, Kemensos sudah membangun aplikasi Cek Bansos yang memungkinkan penerima bansos atau orang yang belum masuk dalam daftar bisa mengusulkan atau menyanggah diri.
”Kadang ada yang satu pintu lewat dinas sosial, ini arogan sekali, padahal sudah ada undang-undangnya yang membolehkan masyarakat menyanggah,” kata Suhadi.
Namun, Kemensos juga tidak bisa menjatuhkan sanksi langsung kepada dinas sosial karena secara struktur birokrasi, mereka berada di bawah pemerintah daerah yang otonom. Kemensos hanya bisa mengimbau agar penyaluran bansos benar-benar sesuai dengan prosedur. (c-hu)