Clakclik.com, 7 Juli 2023--Indeks integritas pendidikan nasional masih berada di level rendah. Semakin tinggi jenjang pendidikan, integritas yang tecermin dari karakter, ekosistem, dan kepatuhan justru makin rendah. Padahal, generasi muda yang berintegritas diharapkan mampu melawan korupsi.
Deputi Bidang Pendidikan dan Peran Serta Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Wawan Wardiana mengutarakan hal itu dalam acara Peluncuran dan Webinar mengenai Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan yang digelar KPK, Selasa (4/7/2023).
Menurut Wawan, SPI Pendidikan dilakukan KPK untuk mengetahui efektivitas pendidikan antikorupsi. Survei tersebut dilakukan dengan memetakan integritas, yakni karakter peserta didik, ekosistem pendidikan (pendidik dan pimpinan satuan pendidikan), serta risiko korupsi dalam tata kelola pendidikan.
Dari hasil SPI Pendidikan yang dilakukan pertama kali di 34 provinsi pada tahun 2022, indeks integritas pendidikan nasional sebesar 70,40. Nilai ini menunjukkan indeks integritas pendidikan masih berada di level 2 dari skala tertinggi level 4.
”Artinya, dari sisi peserta didik, perilaku integritas belum jadi pembiasaan. Dari ekosistem juga belum memberi dukungan memadai untuk menginternalisasikan nilai-nilai integritas dalam pembelajaran oleh pendidik, pimpinan satuan pendidikan, dan orangtua karena belum ada sinergi,” tuturnya.
Sementara dari segi tata kelola, upaya jejaring pendidikan untuk meminimalkan risiko korupsi dinilai masih belum memadai. Kondisi ini mengakibatkan korupsi tetap terjadi di dunia pendidikan.
Indeks integritas pendidikan dasar menengah (sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas/sekolah menengah kejuruan sederajat) lebih tinggi, yakni 74,49, dibandingkan perguruan tinggi dengan indeks 67,69.
Rendahnya indeks ini disebabkan banyak perilaku akademik tak jujur, seperti mencontek dan plagiasi, yang terus terjadi. Para pendidik seperti guru atau dosen juga belum sepenuhnya memberi keteladanan. Mereka biasa terlambat masuk kelas, mengakhiri kelas sebelum waktunya, ataupun tidak hadir tanpa alasan yang jelas.
Perilaku koruptif antara lain pungutan liar (pungli) saat penerimaan siswa atau mahasiswa baru hingga merekayasa dokumen agar diterima sekolah atau kampus yang diinginkan.
Ada juga dosen yang mewajibkan mahasiswa membeli diktat atau buku atau produknya sendiri. Ada juga guru yang mewajibkan siswa ikut les tambahan dengan bayaran. Ada juga pelaporan keuangan yang tidak transparan, serta kampus atau sekolah tidak merinci komponen biaya sekolah atau perkuliahan. (c-hu)