Clakclik.com, 13 Desember 2022--Pemerintah tengah mengevaluasi struktur harga beras di hulu dan hilir. Evaluasi tersebut diharapkan berpihak kepada petani yang selama ini menanggung rugi karena harga yang berlaku di pasar berada di bawah biaya pokok produksi. Kerugian tersebut menggerus minat petani untuk menanam padi dan dapat berimbas pada turunnya produksi beras nasional.
Kepala Badan Pangan Nasional (NFA) Arief Prasetyo Adi menyampaikan informasi tentang evaluasi tersebut dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR, Rabu (7/12/2022). Rapat itu membahas rendahnya serapan gabah/beras oleh Perum Bulog saat panen raya 2022 yang berimbas pada sedikitnya jumlah stok beras yang dikuasai pemerintah pada masa paceklik saat ini.
Arief mengatakan, pihaknya sedang mengevaluasi harga pembelian pemerintah (HPP) gabah/beras dan harga eceran tertinggi (HET). ”Evaluasi ini harus hati-hati karena pengaruhnya terhadap inflasi sangat signifikan,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (9/12/2022).
Struktur harga itu, menurut Arief, perlu dihitung ulang dengan hati-hati lantaran beras merupakan komponen pangan bergejolak (volatile food) yang paling berpengaruh. Oleh sebab itu, peraturan yang meregulasi struktur harga tersebut perlu disesuaikan kembali.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) Dwi Andreas Santosa berpendapat, struktur harga yang ada saat ini merugikan petani. Pemerintah diminta untuk berpihak kepada petani dan tidak terlalu mengkhawatirkan pergerakan inflasi pangan. ”Apalagi, struktur HPP saat ini berada di bawah BPP,” katanya saat dihubungi, Minggu (11/12/2022).
Pada 2019, Andreas menambahkan, biaya pokok produksi gabah berdasarkan hitungan AB2TI adalah Rp 4.532 per kilogram (kg) gabah kering panen (GKP). Pada saat itu, HPP GKP berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah ditetapkan Rp 3.700 per kg di tingkat petani.
Sementara pada akhir September tahun ini, lanjut dia, asosiasinya menghitung kembali biaya pokok produksi di tingkat petani. Hasilnya, ada kenaikan 25-35 persen ketimbang tiga tahun sebelumnya, terutama pada aspek biaya sewa lahan, tenaga kerja, dan bahan produksi, seperti pupuk. Biaya pokok produksi berada di angka Rp 5.667 per kg GKP di tingkat petani. Oleh sebab itu, pihaknya mengusulkan agar HPP GKP di tingkat petani dinaikkan menjadi Rp 6.000 per kg.
Saat ini, struktur harga beras diatur oleh dua regulasi. Di hulu, terdapat Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 24 Tahun 2020 tentang Penetapan Harga Pembelian Pemerintah untuk Gabah atau Beras yang menyebutkan, HPP GKP di tingkat petani sebesar Rp 4.200 per kg.
Padahal, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, rata-rata nasional bulanan harga GKP di tingkat petani yang terendah sepanjang Januari-November 2022 berada di angka Rp 4.369 per kg, yakni pada April 2022. Nilai ini lebih tinggi 2,2 persen ketimbang April 2021.
Di hilir, struktur harga beras diatur melalui Permendag Nomor 57 Tahun 2017 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Beras. Regulasi ini menyebutkan, HET beras medium berkisar Rp 9.450-Rp 10.250 per kg, sedangkan beras premium Rp 12.800-Rp 13.600 per kg. Variasi harga bergantung wilayah.
Data BPS menunjukkan, rata-rata nasional bulanan harga beras medium di tingkat penggilingan per November 2022 mencapai Rp 10.122 per kg atau lebih tinggi 11,58 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Rata-rata harga beras premium senilai Rp 10.512 per kg atau lebih tinggi 10,19 persen ketimbang November 2021.
Andreas mengatakan, sebaiknya pemerintah tidak menetapkan skema HET di hilir, tetapi harga batas atas yang tidak diumumkan kepada publik. Harga batas atas ini menjadi acuan bagi pemerintah untuk melaksanakan intervensi jika harga beras melambung. Dia mengusulkan, harga batas atas beras medium sebesar Rp 11.000-Rp 11.500 per kg, sedangkan beras premium Rp 13.000-Rp 13.500 per kg.
Tanpa adanya revisi struktur harga yang berpihak kepada petani, Andrea menilai, minat petani untuk menanam padi akan tergerus dan produksi beras nasional akan turun. Tekanan pada petani yang menanggung rugi akibat struktur harga saat ini tampak dari perlambatan kenaikan produksi pada masa La Nina basah dalam tiga tahun terakhir. Biasanya, pertumbuhan produksi akibat La Nina basah dapat mencapai di atas 4,5 persen. Namun, tiga tahun terakhir berada di bawah 3 persen. (c-hu)