22
Fri, Nov

Sekali Lagi Soal Cendikiawan

Ilustrasi / Clakclik.com

Opini
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Oleh: Husaini, pengelola Omah Buku Uplik Cilik, tinggal di Desa Pelemgede, Pucakwangi, Pati, Jawa Tengah

Baca juga: Salah Kaprah Memahami Ketahanan Pangan di Pati (clakclik.com)

Baca juga: Pati dan Merangseknya Industri ”Footloose” (clakclik.com)

Cendekiawan adalah orang-orang yang memiliki sikap hidup yang terus-menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk dapat mengetahui atau memahami sesuatu. Cendekiawan hendaknya juga harus secara intens melihat realitas dan merasakannya.

Ketika misalnya; realitas menunjukkan adanya ketidakadilan, ketimpangan, kesewenang-wenangan, dan penindasan, cendekiawan tidak boleh diam dan bungkam. Cendekiawan harus berani meninggalkan kemapanan dirinya untuk melihat realitas sosial, dan terlibat mengontrol kebijakan publik.

Cendekiawan seharusnya tidak boleh menjual pengetahuannya untuk keuntungan pribadi. Cendikiawan harus berani ”pasang badan” mengobrak-abrik realitas sosial yang tidak adil, membongkar kemapanan kekuasaan yang menindas, meski harus dilalui dengan aneka risiko dan pengorbanan.

Cendikiawan memiliki kuwajiban memberi teladan. Ia tidak hanya memperhatikan ritus dan dogma keilmuan, namun harus memiliki refleksi kritis dan melakukan aksi pelayanan praktis kepada mereka yang menderita dan menjadi korban ketidakadilan.

Cendekiawan seharusnya berpihak pada orang-orang yang menderita dan yang tertindas (voice of the voiceless). Cendekiawan sejatinya adalah dia yang rela mengosongkan diri (kenosis) dan menjadi ”miskin” demi kekayaan pengetahuan publik. Dengan itu, cendekiawan menjadi kaya akan pengetahuan sosialnya.

Perhatian dan keberpihakan cendekiawan merupakan suatu kepedulian universal bagi kaum terbelakang (miskin) dan terbuang. Ia harus mencurahkan perhatian kepada orang miskin dan tertindas.

Cendekiawan tidak boleh hanya berkhotbah di mimbar-mimbar kuliah dan terkurung dalam ide-ide kreatif, namun ia harus ”turun gunung” untuk melihat dan mengalami realitas masyarakat secara langsung.

Baca juga: Catatan Geliat Gerakan Tanggap Darurat Banjir PCNU Pati (clakclik.com)

Baca juga: Kerusakan Kendeng dan Muria Penyebab Banjir Pati (clakclik.com)

Cendekiawan seharusnya masuk ke dalam dunia dan sejarah sebagai sumber inspirasi dan daya ubah menuju tatanan yang lebih baik. Cendekiawan yang menawarkan diri demi kemaslahatan publik adalah dia yang melibatkan diri dalam nasib dan sejarah manusia.
Keprihatinan sosial cendekiawan sejatinya berpihak pada orang-orang yang sedang berada dalam situasi ketidakadilan. Hal itu disebabkan karena orasi-orasi ilmiah dan sejenisnya tidak bisa diterima oleh masyarakat sipil apabila mereka sedang diterpa bencana banjir karena salah kelola kawasan, rakyat yang penyakitan karena dampak tambang batubara, merajalelanya korupsi yang memiskinkan banyak orang, kelaparan karena pembabatan liar dari penguasa atas lahan dan ladang tempat mereka mencari nafkah, menderita sakit karena air yang tercemar oleh limbah pabrik, dan aneka persoalan sosial lainnya.

Tidak hanya sampai pada tahap keprihatinan, cendekiawan seharusnya mewujudkan misi mulia dalam tindakan konkret, yakni memperjuangkan keadilan.

Cendikiawan harus melihat bahwa banyak orang menjadi miskin disebabkan struktur sosial yang tidak adil. Kelompok yang kuat berkuasa, yang lemah dan miskin disingkirkan. Cendikiawan harus berpihak pada mereka yang lemah, miskin dan disingkirkan itu.

Intinya, kerja cendekiawan tidak boleh hanya selesai dalam ruang kelas, tetapi cendikiawan perlu mengalami realitas penderitaan masyarakat. Cendekiawan harus turun dari istana megah dan menara gadingnya serta merasakan kehidupan warga yang terpinggirkan. Bukan melarikan diri dan justru berselingkuh dengan kekuasaan.

Sign up via our free email subscription service to receive notifications when new information is available.