Oleh: Farid Gaban | Editor in Chief The GeoTimes Online, Direktur Zamrud Khatulistiwa Foundation
Baca juga: https://www.clakclik.com/78-opini/1325-berdikari
Baca juga: https://www.clakclik.com/78-opini/1322-pertanian-adalah-kunci
Baca juga: https://www.clakclik.com/78-opini/1268-pati-dan-merangseknya-industri-footloose
Pembangkangan sipil (civil disobedience) adalah satu bentuk protes warga negara terhadap pemerintahnya, yakni dengan secara sengaja melanggar hukum/aturan negara.
Cara membangkang paling lunak adalah menolak membayar pajak. Cara lain lebih keras: mogok kerja, vandalisme ruang publik, memboikot dan mensabotase program-program pemerintah.
Ini bentuk perlawanan tanpa kekerasan (non-violence). Dalam pembangkangan sipil, warga menerima konsekuensi untuk ditahan dan dipenjarakan ketika melanggar hukum. Pembangkang tidak melawan ketika ditangkap.
Jika terjadi pembangkangan cukup luas, pemerintah akan dihadapkan pada pilihan memenuhi tuntutan atau memenjarakan sebanyak mungkin orang.
Istilah "civil disobedience" dipopulerkan oleh Henry David Thoreau (1817–1862), pujangga dan pecinta alam asal Amerika, ketika memprotes perbudakan dan menolak Perang Amerika-Meksiko (1846-1848).
Baca juga: https://www.clakclik.com/78-opini/1141-covid-19-momentum-membangun-ketahanan-pangan-sungguhan
Baca juga: https://www.clakclik.com/78-opini/1250-lumbung-pangan-nasional-vs-desa
"Jika mesin pemerintahan menuntut kita menjadi agen ketidakadilan terhadap orang lain," kata Thoreau, "maka, saya katakan, mari kita langgar hukum."
Gagasan pembangkangan sipil Thoreau ini mengilhami Mahatma Gandhi ketika melawan kolonial Inggris di India, dan Martin Luther King Jr., ketika memprotes rasialisme di Amerika Serikat.