Clakcik.com, 10 Desember 2021—Laporan hasil kajian Ombudsman RI yang dipubikasikan pada 30 November 2021 menegaskan kembali timbunan masalah subsidi pupuk. Menurut kajian itu, ada lima potensi malaadministrasi (perilaku atau perbuatan melawan hukum dan etki dalam proses administrasi pelayanan publik) yang masih melingkupi kebijakan pupuk bersubsidi.
Lima potensi maladministrasi itu terkait kriteria petani sasaran petani, akurasi data penerima, mekanisme distribusi, efektivitas penyaluran, serta mekanisme pengawasan pupuk bersubsidi. Ada sederet temuan berdasarkan telaah tata kelola, pemeriksaan lapangan, serta permintaan keterangan dari produsen, pemerintah daerah, distributor dan pengecer, penyuluh dan kelompok tani, serta instansi/lembaga terkait, seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan PT Pupuk Indonesia (Persero).
Soal kriteria petani penerima, misalnya, program pupuk bersubsidi dinilai tidak bisa dijadikan sebagai instrumen meningkatkan produksi pertanian. Dengan anggaran yang terbatas, jumlah komoditas yang banyak (69 komoditas), pembatasan lahan, yakni di bawah 2 hektar, serta jenis pupuk yang beragam (padat, cair, organik, dan anorganik) membuat alokasinya rata-rata hanya mampu mencakup 38 persen kebutuhan.
Soal data petani penerima juga perlu pembenahan. Sebab, tidak semua petani tergabung sebagai anggota kelompok tani, tidak semua kelompok tani terdaftar dalam e-RDKK (rencana definitik kebutuhan kelompok), tidak semua nomor induk kependudukan petani teraktivasi oleh data kependudukan dan catatan sipil sehingga mereka tidak bisa menunjukkan identitas diri, serta ada petani dengan lahan di atas 2 hektar yang terdaftar dalam e-RDKK.
Proses distribusi pupuk juga membutuhkan perbaikan. Sebab, tidak semua distributor memenuhi rekomendasi dinas perdagangan kabupaten/kota, penunjukan distributor/pengecer belum transparan, serta keberadaan kios-kios pengecer pupuk yang masih terbatas sehingga tidak mampu menjangkau petani sasaran yang tersebar di beberapa desa.
Efektivitas penyaluran pupuk bersubsidi juga menjadi catatan. Sebab, sebagai barang dalam pengawasan sekaligus barang milik publik, penyaluran pupuk bersubsidi harus selaras dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik. Beberapa temuan Ombudsman RI terkait faktor ini, antara lain, ada petani yang terdaftar dalam e-RDKK, tetapi tidak tahu jatah alokasi yang dia terima, baru 8,79 persen petani yang menggunakan kartu tani untuk menebus pupuk, ada praktik bundling penjualan pupuk bersubsidi dengan nonsubsidi, penjualan di atas harga eceran tertinggi (HET), serta tidak ada stok minimum yang mesti tersedia di gudang distributor dan pengecer.
Sayangnya, dengan segenap problem tersebut, pengawasannya belum optimal. Selama ini pengawasan dilakukan oleh Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP3), tetapi tidak ada mekanisme penanganan aduan dan kewenangan penindakan yang jelas. Hal ini terindikasi dari inkonsistensi dalam penerapan sanksi pelanggaran dalam pengadaan dan penyaluran, seperti perembesan antarwilayah, penggelembungan HET, penjualan dengan sistem bundling, dan penyaluran yang tidak tepat sasaran.
Terkait sejumlah temuan itu, Ombudsman RI merekomendasikan mekanisme perbaikan. Soal pendataan, misalnya, Kementerian Pertanian diharapkan melakukan pendataan dan evaluasi rutin, menata ulang mekanisme penyusunan RDKK dengan melibatkan aparatur desa, serta mendata kebutuhan pupuk setiap lahan sesuai kondisinya. Mekanisme pemilihan distributor dan pengecer dan juga perlu diperbaiki agar penyaluran pupuk lebih efektif selain membangun sistem informasi ketersediaan stok yang dapat diakses publik.
Hasil kajian Ombudsman RI terkait pupuk bersubsidi sebenarnya bukan hal baru. Pada tahun 2017, kajian kebijakan subsidi di bidang pertanian oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan Deputi Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyimpulkan, implementasi kebijakan belum mampu menjadikan program subsidi terlaksana secara efektif dan efisien serta belum mampu mengantisipasi celah korupsi. Pengawasannya juga belum optimal. Oleh karena itu, salah satu rekomendasinya adalah meminta pemerintah mendesain ulang penyaluran pupuk bersubsidi menjadi penyaluran langsung kepada petani. (c-hu)