Clakclik.com, 12 Desember 2022--Kesadaran masyarakat dalam mengadukan dan melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terus tumbuh. Dari sekian banyak kasus yang dilaporkan, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan atau LBH APIK mencatat, kekerasan dalam rumah tangga masih mendominasi.
Pada 2022, LBH APIK Jakarta menerima laporan 1.512 kasus. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yang sebanyak 1.321 kasus dan tahun 2020 yang sebanyak 1.178 kasus. Kasus terbanyak yang dilaporkan adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan berbasis gender online/daring (KBGO).
Berdasarkan Laporan Tahunan 2022 LBH APIK Jakarta berjudul ”Angka Kekerasan Semakin Meningkat: Potret Buram Keadilan bagi Perempuan dan Anak” yang disampaikan kepada publik, Sabtu (10/12/2022), KDRT menempati posisi paling banyak dilaporkan, yakni 473 kasus.
Selain itu, dari laporan yang dipaparkan Koordinator Divisi Pelayanan Hukum LBH APIK Jakarta Uli Pangaribuan dan Koordinator Divsi Perubahan Hukum LBH APIK Jakarta Dian Novita, terdapat 440 laporan kasus KBGO, 146 kasus kekerasan seksual, dan 126 kasus kekerasan dalam pacaran.
”Dalam pendampingan kasus, kami menghadapi kendala struktur, seperti aparat penegak hukum masih tidak peduli dengan kasus yang dialami korban sehingga banyak kasus yang tidak berjalan. Sidang kasus asusila masih terbuka untuk umum,” tutur Uli.
Hingga kini, sejumlah aparat penegak hukum (APH) juga masih cenderung menyalahkan korban dan tidak ramah ketika korban membuat laporan. Hal ini menyebabkan korban takut dan hilang kepercayaan diri terhadap kasus yang dilaporkannya.
”Dalam proses pendampingan, ada aparat hukum yang masih mengintimidasi korban sehingga korban takut melanjutkan kasusnya dan membuat korban tidak percaya diri dengan kasus yang dilaporkan,” tutur Uli.
Ketika proses hukum berjalan, masih ada aparat penegak hukum yang menanyakan riwayat seksual korban yang tidak ada kaitannya dengan kasus yang dialami korban. ”Aparat hukum masih meminta dua alat bukti yang berkaitan dengan kasus yang dilaporkan,” ujar Uli.
Selain itu, LBH APIK Jakarta juga mencatat proses penyelesaian kasus kekerasan terhadap perempuan cenderung didorong melalui mediasi atau keadilan restoratif. Masih ada penyidik yang menginisiasi mediasi antara korban dan pelaku. Apabila korban tidak bersedia, kasusnya sebagai terlapor akan dilanjutkan. (c-hu)