Oleh: Husaini, Anggota NU, Pemilik KARTANU No. 11.06.05.011.00001, tinggal di Pati, Jawa Tengah.
Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Tanah Air, baru saja memperingati ulang tahun ke-95. Peringatan ulang tahun dilakukan secara virtual karena pandemi Covid-19.
NU lahir sebelum Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Oleh karena itu, perjalanan bangsa tidak bisa dilepaskan dari kiprah NU dalam menjaga negara bangsa dan merawat ikatan kebangsaan.
Di sejumlah media sosial, ”selebrasi” ulang tahun NU bertebaran dari sejumlah kelompok di Tanah Air. Selebrasi virtual itu menandakan bahwa organisasi NU telah terbukti menjadi rujukan anak negeri baik offline maupun online.
Namun, perlu kesadaran yang tinggi juga bahwa di media sosial, kita mendapati fenomena kebebasan tanpa batas. Dalam jagat virtual muncul orang-orang yang rekam jejaknya belum jelas, dan kontribusinya untuk negeri masih bisa dipertanyakan, bisa tampil dan mengacak-acak kohesivitas anak negeri.
Situasi kita saat ini mirip seperti apa yang disampaikan oleh Otto Scharmer, Guru Besar MIT, bahwa, masyarakat terjebak pada tiga pola dalam menyikapi situasi; yakni suara menghakimi (voice of judgement), suara sinis (voice of cynicism), dan suara ketakutan (voice of fear).
NU adalah rumah besar yang berpeluang mengajak masyarakat untuk membuka pikiran (open mind) melalui dakwahnya, membuka hati (open heart) untuk melihat realitas sosial yang ada, dan memperbesar tekad (open will) untuk membuka ruang lebih luas untuk hidup bersama serta membangun toleransi.
NU dan puluhan juta anggotanya, mempunyai peran besar untuk mengisi kekosongan narasi, termasuk narasi di jagat virtual. Dengan paham nasionalisme religius dan moderasi beragama, NU diharapkan lebih banyak mengisi kekosongan narasi yang menyejukkan dan terlibat aktif membawa bangsa keluar dari kemelut dan krisis.
NU harus juga memiliki kemampuan melakukan screening, mengidentifikasi dengan sungguh-sungguh, menyeleksi dengan hati-hati, pribadi-pribadi yang diberikan posisi-posisi strategis dalam memimpin perjalanan organisasi. Tidak hanya ditingkat pusat tapi juga di daerah, cabang hingga ranting.
NU juga perlu melakukan refleksi bahwa selama ini telah banyak dan selalu ada individu dan pihak-pihak yang memanfaatkan organisasi untuk kepentingan praktis yang tida mewakili kepentingan umat dan bangsa.