22
Fri, Nov

Hoaks Covid-19 Harus Diberantas, Pembuat dan Penyebarnya Harus Diusut

Ilustrasi / Istimewa

Inspirasi
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Hoaks Covid-19 bisa dianggap sama bahayanya dengan virus Covid-19. Harus diberantas dan diatasi. Hoaks Covid-19 sudah sangat serius menjalar di berbagai platform media sosial masyarakat; mulai Facebook, Twitter, Instagram dan Whatsapp.

Clakclik.com, 28 April 2020—Situasi itu seperti digambarkan media arus utama (mainstream) Kompas dalam kolom Tajuk Rencana yang diterbitkan pada 23 April 2020. Berikut tulisan lengkap Tajuk Rencana tersebut. Clakclik.com mencopy utuh dari laman Kompas.id, edisi 23 April 2020:

Baca juga: https://www.clakclik.com/inspirasi/1033-orang-pintar-dan-terdidik-banyak-yang-percaya-hoax-covid-19

Memutus Rantai Hoaks Covid

Ketika bangsa ini tengah bersusah payah menghadapi pandemi, masih banyak yang tega memproduksi berita bohong. Total mencapai 1.260 kasus tersebar di Facebook, Twitter, Instagram, dan Whatsapps. Tindakan tegas diperlukan.

Manusia dasarnya pendongeng yang kuat. Lukisan purba di goa membuktikan itu. Manusia juga lebih memilih narasi memukau ketimbang akurasi faktual.

Oleh karena itu, sejak dahulu kala, tidak sembarang orang diangkat menjadi pencerita. Hanya yang bijaklah yang dipilih menjadi pencerita. Ceritanya tetap memukau tanpa harus mengurang-ngurangi atau melebih-lebihkan fakta.

Kini, ketika pandemi Covid-19 menyerang bumi, para manusia pencerita pun diuji. Apakah akan mengembangkan sifat dasar manusia tersebut sebagai keunggulan yang dapat memberikan banyak warna kehidupan, atau sebaliknya justru menjadi kelemahan yang membuat kelam kehidupan.

Jurnalis adalah pencerita di zaman modern. Untuk mengatasi kelemahan sifat dasar manusia tersebut, metodologi jurnalisme disusun. Kode etik profesi yang sangat ketat pun dibuat sebagai kontrol diri. Sementara ruang redaksi menjadi kontrol eksternal.

Namun, di era yang serba digital, kini semua pribadi bisa dengan mudah membuat konten dan menyebarluaskannya sendiri. Implikasinya berita tidak benar atau fake news dan berita bohong atau hoaks pun menyebar luas bak pandemi.

Ketika semua elemen bangsa ini tengah bersusah payah menghadapi pandemi, masih banyak pula yang tega memproduksi berita bohong. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika, sepanjang 23 Januari hingga 21 April 2020 terdapat 568 kabar bohong terkait Covid-19.

Hoaks itu tersebar di berbagai platform media sosial. Total 1.260 kasus. Paling banyak di Facebook (885), Twitter (356), Instagram (11 konten), dan Youtube (8 konten) (Kompas, Rabu 22/4/2020). Data lain menyebutkan penyebaran hoaks di Facebook 81 persen dan Whatsapp 56-58 persen.

Kabar bohong yang beredar luas, misalnya, menjelaskan orang yang tidak pernah ke luar negeri tidak akan terinfeksi Covid-19. Banyak juga yang mengaitkannya dengan isu politik, suku, agama, ras, dan antar-golongan. Kondisi ini tentu memprihatinkan dan tidak boleh dianggap remeh.

Tingkat literasi Indonesia terendah kedua di dunia dan 65 persen masyarakat memercayai hoaks. Kabar bohong akan mengarahkan publik pada tindakan yang salah, membahayakan kesehatan, bahkan ketahanan nasional. Soal ini menjadi pekerjaan rumah tambahan pemerintah, khususnya Kementerian Komunikasi dan Informatika ataupun aparat penegak hukum.

Semua hoaks perlu segera ditelusuri jejak digitalnya dan pelakunya ditindak. Penyedia platform yang tidak segera mengeblok konten hoaks harus diberi sanksi. Seperti halnya memerangi Covid-19, selain mengobati yang terinfeksi, terutama memutus mata rantai penularan.

Kolaborasi negara dengan media arus utama perlu terus dioptimalkan untuk memastikan sekitar 270 juta penduduk mendapatkan informasi berkualitas. Edukasi harus terus digalakkan. Jangan mudah terpukau cerita memukau. Pilihlah informasi akurat faktual. Ini bukan perkara mudah karena menyangkut sifat dasar manusia.

Sign up via our free email subscription service to receive notifications when new information is available.