Sejak ditetapkannya Covid-19 sebagai bencana (non-alam) nasional, segenap sumberdaya pemerintah mulai dari tingkat nasional, propinsi, kabupaten hingga desa berubah arah. Kebijakan pemerintah secara nasional meminta semua sektor dan semua wilayah me-realokasi anggaran sekitar 30-50% untuk penanggulangan Covid-19.
Editorial | Clakclik.com | 2 Mei 2020
Secara umum, Covid-19 adalah wabah terkait dengan persoalan kesehatan; jenis virus yang tingkat penularannya mudah dan membuat proses kematian sangat cepat jika tidak tertangani dengan tepat.
Tuntutan utama dalam menanggulangi wabah Covid-19 adalah soal disiplin; disiplin dalam perilaku hidup sehat dan menjalankan protokol (bagi masyarakat), disiplin dalam penegakan protocol (bagi pemerintah) dan disiplin dalam penyusunan data, penyajian informasi dan eksekusi program-program (pemerintah).
Karena persoalan kedisiplinan selama ini menjadi penyakit bersama (masyarakat-pemerintah) yang sudah menjalar akut, maka (masyarakat-pemerintah) pontang-panting menghadapi wabah Covid-19.
Kita bisa melihat, hingga bulan kedua (April 2020) sejak ditemukannya (secara resmi oleh pemerintah) kasus Covid-19 di Indonesia (Maret 2020) lalu, pemerintah terkesan baru stabil bekerja untuk satu sector dampak bencana Covid-19 (saja) yakni sektor Kesehatan: masker, hands sanitizer, rapid test, swab test, ventilator, dan APD (alat pelindung diri).
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang dibentuk secara berlapis di tingkat nasional hingga tingkat kabupaten terkesan hanya semacam juru hitung tambah-kurang kasus, lalu mengumumkannya ke publik.
Sayangnya, di daerah seperti di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, gugus tugas yang terkesan hanya sebagai juru hitung ini dipimpin oleh pimpinan tertinggi kabupaten yakni bupati.
Walhasil, bupati akhirnya menjadi tukang mengumumkan angka tambah-kurang kasus Covid-19 di Pati. Tugas-tugas penting seperti pendataan dampak sosial ekonomi wabah Covid-19 nyaris terlewat.
Padahal dampak sosial ekonomi wabah Covid-19 di masyarakat (terutama masyarakat miskin kota dan perdesaan), bisa jadi merupakan ancaman yang ganas seperti virus Covid-19 itu sendiri.
Hingga hari ini (di Kabupaten Pati) kita belum pernah mendengar kabar soal misalnya; berapa jumlah orang yang kehilangan pekerjaan akibat wabah Covid-19; baik pekerja pabrik yang di PHK maupun pekerja sector informal yang terdampak dan kemudian berhenti bekerja. Kita juga tidak mendengar tentang bagaimana situasi penurunan omset pedagang kecil seperti bakul cilok, penthol, gorengan dan lain-lain yang (di Kabupaten Pati) jumlahnya ribuan.
Karena baseline data yang buruk, maka program-pun ragu-ragu disusun. Meskipun bupati berdalih soal kehati-hatian, namun kita menyaksikan bahwa yang bermasalah sesungguhnya soal pendataan. Kekhawatiran tentang konflik sosial atas bantuan sosial adalah bentuk lain karena persoalan ketidakyakinan dan data yang tidak siap.
Bupati lupa bahwa fase saat ini adalah fase tanggap darurat bencana (Covid-19). Konsep dasar respon tanggap darurat bencana selain akurasi data adalah ketepat-cepatan respon atas dampak buruk yang timbul dari kejadian bencana (dalam hal ini Covid-19) di segala sector.
Kita bersyukur Bupati Pati Haryanto dalam beberapa kesempatan berucap bahwa program Jaring Pengaman Sosial (JPS) Covid-19 di Pati akan mulai disalurkan Bulan Mei 2020.
Hari Senin nanti (4/5/2020) adalah hari pertama efektif kerja di Bulan Mei setelah 1 Mei kita menjalani libur Hari Buruh Internasional disusul Harpitnas (hari kecepit nasional) di Sabtu (2/5/2020) dan libur regular pada Minggu (3/5/2020).
Semoga pada Mei 2020 ini, warga Kabupaten Pati tidak lagi hanya mendengar kabar soal tambah-kurang kasus Covid-19 dan bantuan pihak ketiga yang terus mengalir ke Pemda.
Berita-berita tentang pencairan bantuan sosial dari Pemda Pati untuk korban bencana wabah Covid-19 di sektor sosial ekonomi sangat dinanti, sebelum masyarakat bosan (mendengar janji) dan frustasi.