23
Sat, Nov

Perda RTRW Pati, Lahan Pertanian Berkelanjutan, dan Pembubaran Lokalisasi

Ilustrasi/Istimewa

Opini
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Oleh: Husaini, anggota Lakpesdam NU Pati, Pengelola Omah Buku Uplik Cilik. Tinggal di Pucakwangi, Pati.

Baca juga: https://www.clakclik.com/78-opini/1268-pati-dan-merangseknya-industri-footloose

Baca juga: https://www.clakclik.com/78-opini/1286-waspadai-wabah-malas-berfikir-di-medsos

Membaca judul tulisan ini, kesan pertama adalah tidak nyambung. Apa hubungannya antara peraturan daerah (Perda) tentang rencana tata ruang dan rencana wilayah (RTRW) dan pembubaan lokalisasi?

Hal kedua, pasti orang lebih tertarik memplototi soal pembubaran lokalisasi dibandingkan dengan isu lahan pertanian abadi, apalagi soal Perda RTRW. Persoalan “lendir” itu memang selalu dominan dalam otak manusia.

Namun demikian, rangkaian kata itu kontekstual dengan situasi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Perda RTRW khusus terkait dengan pasal Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (selanjutnya disingkat KPPB) digunakan oleh pemerintah daerah sebagai landasan penutupan kompleks lokalisasi lorong indah (LI) yang menurut sejumlah media ditulis terbesar se-Jawa Tengah. Kompleks lokalisasi yang sudah ada lebih dari 20 tahun itu dinyatakan sebagai KPPB oleh Perda No. 2/2021 tentang RTRW.

Hingga hari ini, riuh rendah masyarakat merespon tiga hal judul tulisan ini hanya pada satu hal, yakni tentang pembubaran lokalisasi dibumbui dan ditambah dengan penutupan sejumlah lokalisasi lain dan tempat-tempat hiburan tak berijin. Dua hal penting terkait revisi Perda RTRW dan soal isu pertanian yang merupakan kepentingan besar dan mengakomodasi sumberdaya terbesar di wilayah Kabupaten Pati lolos tidak terbahas.

Tentu tidak elok jika kemudian kita membuat asumsi bahwa ada keterbatasan kemampuan para pihak terkait sehingga tiga hal yang sesungguhnya berkaitan itu hanya dipilih salah satu hal saja yang terkait dengan urusan “selangkangan” alias hasrat seksual atau orang-orang sering menyebutnya sebagai urusan “perlendiran”.

Namun demikian, jika dua hal penting (Perda RTRW dan KPPB) tidak menjadi pembicaraan dan bahan diskusi mendalam, rasanya kita seakan sedang melakukan kecurangan, berbuat tidak adil, dan mengabaikan kepentingan publik yang lebih besar daripada isu bisnis lendir.

Maksud saya begini, okelah bahwa urusan penutupan lokalisasi dan prostitusi itu penting. Tetapi urusan kebijakan penataan ruang (Perda RTRW) dan juga urusan KPPB sesungguhnya tidak kalah penting.

Dalam membaca konsiderasi kebijakan, Perda RTRW merupakan perda babon atau perda payung yang harus dijadikan rujukan untuk menyusun dan menetapkan perda-perda lain. Jika perda RTRW tidak dicermati dengan baik dan dikemudian hari bermasalah, maka sejumlah perda turunannya juga pasti akan bermasalah.

Belum lagi bicara soal apa motivasi pemerintah melakukan revisi Perda RTRW dan pertanyaan yang lebih kritis berikutnya apakah kualitas perda hasil revisi lebih baik dari perda yang direvisi? Belum tentu. Satu contoh kasus yang ditemukan penulis misalnya tentang pasal Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) dimana pada Perda 5/2011 (Perda RTRW yang direvisi) ada rincian dengan jelas disetiap kecamatan terkait luas KBAK. Namun dalam Perda 2/2021 (Perda revisi) hanya menuliskan secara global untuk seluruh Kabupaten Pati. Ada sejumlah hal lain yang bermasalah dalam perda revisi RTRW itu yang penting untuk dibahas, dicermati, dan dikritisi .

Kebijakan tentang KPPB juga bukan persoalan sederhana. Perubahan luasan dan perubahan lokasi KPPB memiliki dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang besar. Misalnya perubahan fungsi lahan di sepanjang kanan-kiri Jalan Pantura (dari Kecamatan Margorejo hingga Kecamatan Batangan) dari lahan pertanian menjadi kawasan pengembangan bisnis, akan berakibat pada meningkatnya ancaman kerusakan lingkungan dan problem sosial lain termasuk menjamurnya lokasi bisnis prostitusi di wilayah itu.

Status lahan dari KPPB menjadi kawasan pengembangan bisnis juga berdampak pada nilai jual dan penguasaan lahan. Petani yang memiliki lahan di kawasan pengembangan bisnis akan tergiur menjual lahannya dan lalu berubah profesi dari petani menjadi buruh di pabrik yang didirikan di bekas sawah mereka. Kerja bertani yang selama ini tanpa batas usia dan merdeka, berubah menjadi kerja di pabrik; menjadi mesin pabrik dan dibatasi usia.

Perubahan status lahan dalam Perda RTRW juga tidak lepas dari proses transaksi bisnis. Informasi yang beredar tentang banyaknya pemilik lahan yang mengajukan agar status tanahnya diubah dari kawasan pertanian menjadi kawasan bisnis dan atau status lain dengan tujuan meningkatkan nilai jual dan merubah fungsi beredar santer dalam proses revisi Perda RTRW Pati (Perda No. 2/2021) itu.

Oleh karenanya, sejumlah orang sering melabeli perda Tata Ruang itu menjadi Perda “Tata Uang”.

Walhasil, tulisan ini merupakan usaha untuk memantik dialog agar kita tidak terjebak dalam satu lobang yang terus menerus. Sejumlah kata dan istilah yang mungkin bernuansa menyinggung, berfungsi untuk memicu semangat; bukan dalam konteks cemooh. Wallahul Muwaffiq ila Aqwamit Tharieq.

 

 

Sign up via our free email subscription service to receive notifications when new information is available.