Pati, Clakclik.com—Akar mimang (Oyot Mimang-Jawa) adalah sejenis akar tumbuhan yang dipercaya punya daya magis. Konon orang yang tersandung akar ini akan berputar-putar di sekitar akar tersebut. Kemanapun arah dia berjalan, pada akhirnya akan selalu kembali ke tempatnya semula. Situasi itu hampir mirip seperti proyek normalisasi Sungai Juwana.
Hal itu disampaikan oleh Joko Pramono salah satu pegiat Jampisawan (Jaringan Masyarakat Peduli Sungai Juwana) di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Joko menyebut situasi proyek normaalisasi Sungai Juwana yang menurut catatan Jampisawan sudah dimuai sejak tahun 2010 dengan menghabiskan anggaran trilyunan, namun jejak proyek normalisasinya hampir tidak tampak.
Diolah oleh Clakclik.com
“Setahu saya wilayah bawah dikeruk, nanti setahun setelah pengerukan bergeser ke tempat lain, kondisi sungainya kembali seperti sebelum dikeruk. Tengah dikeruk, setelah ditinggal juga kembali lagi seperti itu. Contoh konkritnya ya saat ini. Tahun lalu wilayah Ngantru sempat dikeruk, namun sekarang sudah pulih lagi. Kalau mau nyeberang sungai tdak perlu pakai sampan. Cukup jalan kaki saja mungkin lutut kita tidak basah. Saat ini yang dikeruk wilayah atas sekitar wilayah Desa Talun Kecamatan Kayen dan Desa jambean Kidul Kecamatan Margorejo,” terang Joko Pramono, Sabtu (31/7/2021).
Menurut catatan Jampisawan situasi itu terjadi diantaranya karena rusaknya kawasan DAS (daerah airan sungai) Juwana di Kendeng dan Muria. Selain itu, normalisasi Sungai Juwana hanya berpedoman pada hal teknis, padahal keberadaan Sungai Juwana tidak lepas dari kehidupan masyarakat.
Ari Subekti, Koordinator Monitoring Sungai Jampisawan menjelaskan bahwa secara sosiologis, urusan sungai adalah urusan kehidupan masyarakat yang tinggal dan memenuhi kebutuhan hidup di kanan-iri sungai.
Pelaksanaan proyek normalisasi Sungai Juwana di wilayah Kecamatan Kayen dan Margorejo, Kabupaten Pati, Kamis (29/7/2021) / Clakclik.com
“Jika masyarakat tidak dilibatkan dalam proses menjaga sungai, maka situasinya ya seperti yang terjadi di Sungai Juwana. Puluhan ton sampah rumah tangga, sampah industri, dan sampah pertanian semua masuk sungai. Dampaknya selain pencemaran ya penyempitan dan pendangkalan,” jelas Ari Subekti.
Ari Subekti menambahkan bahwa selain aspek sosiologis, ada aspek ekologis yang tidak langsung di lokasi tubuh sungainya atau yang secara ilmiah disebut dengan kawasan daerah aliran sungai atau DAS..
Kondisi Sungai Juwana di wilayah Kecamatan Pati Kota dan Gabus, dangkal dan banyak pulau-pulau dari lumpur dan sampah. Lokasi ini menurut Jampisawan baru sekitar satu tahun dinormalisasi atau dilakukan pengerukan seperti yang saat ini sedang dilakukan di wilayah Kayen dan Margorejo, Kamis (29/7/2021) / Clakclik.com
“DAS itu maksudnya bukan aliran sungainya, tapi semua kawasan yang selama ini berkontribusi terhadap situasi Sungai Juwana. Di Kendeng, kawasan yang saat ini dialihfungsikan masyarakat menjadi ladang tanaman semusim dan jadi lahan tambang itu adalah bagian dari DAS Juwana. Di Muria, terjadi hal yang sama. Alih fungsi lahan dari hutan ke lahan tanaman semusim dan praktik pertambangan batu luar biasa. Dua kawasan itu punya kontribusi besar pada kondisi Sungai Juwana,” tambah Ari Subekti.
Jampisawan menyimpulkan bahwa jika persoalan sosiologis dan persoalan ekologis tidak tersentuh dalam proyek normalisasi Sungai Juwana, selain proyek normalisasi tidak akan tuntas juga akan bernasib sia-sia. Tidak akan berdampak baik bagi kepentingan masyarakat. Hanya menguntungkan sekelompok orang karena mengerjakan proyek. (c-hu)