Korupsi sektor pertanian melibatkan aktor-aktor politik. Perlu konsep jelas jenis korupsi yang masih abstrak.
DALAM satu dasawarsa terakhir, beberapa orang dosen IPB University melibatkan diri pada kegiatan antikorupsi, secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung mereka terlibat dalam proses penyelidikan atau penyidikan suatu kasus korupsi atau menjadi saksi ahli dalam persidangan di pengadilan tindak pidana korupsi. Secara tidak langsung mereka meneliti, terlibat dalam diskusimaupun ikut serta menjadi bagian dari gerakan masyarakat sipil menguatkan pencegahan dan penindakan korupsi secara nasional.
Misalnya, para dosen IPB pernah menggalang pernyataan guru besar dari berbagai perguruan tinggi untuk mendorong pemerintah agar posisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak dilemahkan. Pada 2018 ada sarasehan dan festival akademia antikorupsi oleh 11 perguruan tinggi berbadan hukum, dengan salah satu komitmennya kampus menjadi pusat gerakan antikorupsi yang efektif.
Bagi IPB sektor pertanian dalam arti luas—peternakan, kedokteran hewan, kehutanan, perikanan, kelautan dan wilayah pesisir—senantiasa berkaitan erat dengan isu korupsi yang terkait dengan sumber daya alam, termasuk pertanahan. Bila kita kaitkan dengan kebijakan pemerintah bidang ini, korupsi adalah “hama kebijakan” yang membuatnya gagal mencapai tujuan regulasi.
Pekan lalu, IPB membahas korupsi pertanian. Ada berbagai jenis korupsi atau yang diidentifikasi sebagai bentuk korupsi dalam pembangunan pertanian. Dwi Andreas Santosa, guru besar Fakultas Pertanian IPB, mengungkap beberapa kasus penting yang telah atau diduga mengandung unsur korupsi, seperti proyek perluasan sawah dan food estate, pupuk bersubsidi, program bantuan benih, program bantuan alat dan mesin pertanian, kebijakan pembatasan impor jagung maupun kebijakan swasembada bawang putih.
Andreas mengulas meski ada program perluasan sawah dan food estate luas lahan baku sawah semakin menyusut. Pada 2013 luas lahan baku sawah 8,13 juta hektare, empat tahun kemudian menjadi 7,75 juta hektare. Luas ini terus menyusut menjadi 7,11 juta hektare pada 2018 dan terakhir 7,46 juta hektare pada 2019.
Dalam program bantuan benih padi, sekitar separuh benih padi sampai atau dipakai oleh petani. Sedangkan, program bantuan alat dan mesin pertanian juga mubazir atau tak terpakai oleh dinas pertanian maupun kelompok tani. Pelaksanaan kebijakan perdagangan untuk ekspor-impor jagung dan bawang putih juga ditengarai menghasilkan distorsi yang justru merugikan petani.
Dengan problem-problem itu, secara umum, bisa kita katakana bahwa berbagai program pemerintah itu belum efektif mencapai tujuan kebijakan. Apa penyebab kegagalan kebijakan pemerintah? Apakah karena kapasitas kebijakannya yang lemah atau korupsi? Mungkin keduanya, atau mungkin salah satu yang menyebabkan sebab yang lain.
Xun Wu, dkk. dalam “Policy Capacity: A conceptual framework for understanding policy competences and capabilities” (2015) mendefinisikan “kapasitas kebijakan” menyangkut kemampuan analitis menentukan kebijakan, kemampuan menjalankan kebijakan, maupun kemampuan mengantisipasi bekerjanya pengaruh politik dalam suatu kebijakan. Karena itu kapasitas kebijakan ada pada kemampuan mengakses dan menerapkan pengetahuan teknis dan ilmiah serta teknik analisisnya menjadi kebijakan.
Bila begitu berarti perlu penekanan pembuatan kebijakan berbasis bukti. Untuk itu pejabat pembuat kebijakan harus memiliki kemampuan menyerap dan memproses informasi semua aspek saat merumuskan kebijakan. Sayangnya, banyak studi menyimpulkan aparatur pemerintah tidak sering menggunakan bukti meskipun tersedia atau keliru menentukan bukti dalam menopang kebijakan yang mereka buat. Penyebabnya karena mereka tidak memiliki keterampilan, keterbatasan waktu, atau punya kepentingan lain yang tak sejalan dengan tujuan kebijakan tersebut.
Bila fokus pada kapasitas operasional menjalankan kebijakan, beberapa ahli menyebut keberhasilannya bergantung pada organisasi publik—dalam hal ini kementerian dan dinas—dan pada lingkungan kelembagaan politik. Pengetahuan pembuat kebijakan terhadap kebijakan politik di lembaga legislatif dan eksekutif serta pengetahuan kepentingan berbagai aktor akan menjadi penentu penting perumusan sebuah kebijakan publik.
Dengan kata lain pembuat kebijakan harus punya penciuman mengenali realitas politik, terutama menyangkut konflik kepentingan yang bisa berakhir dengan korupsi. Apalagi untuk kebijakan yang di dalamnya ada subsidi, rente ekonomi, maupun anggaran besar.
Dalam hal ini, Xun Wu, dkk menganjurkan pembuat kebijakan mengidentifikasi aktor-aktor dengan kepentingan esensial dan ideologi mereka maupun hubungan di antara mereka. Pemahaman tentang trade-off politik mutlak diperlukan oleh pembuat kebijakan untuk mengetaui peta aktor dan kepentingan di belakangnya.
Dalam “Corruption Networks: Concepts and Applications” yang disunting oleh Oscar M. Granados dan José R. Nicolás-Carlock, “normalisasi korupsi” akan membuat perilaku para aktor membuat mereka tak bisa lagi melihat perilaku sebagai bentuk korupsi. Menurut Granados dan Nicolás-Carlock orang yang korup sering mengakui perbuatannya, tetapi menyangkal adanya niat kriminal.
Mengapa? Mungkin karena kebanyakan individu masih menjunjung tinggi nilai-nilai, seperti keadilan, kejujuran dan integritas, bahkan ketika mereka terlibat dalam korupsi. Hal ini menjauhkan tiap orang dari sikap moral atas tindakan mereka, bahkan mungkin membentuk perubahan moral, di mana yang buruk menjadi baik.
Jaringan korupsi yang dibahas dalam buku itu menyimpulkan bahwa norma di kalangan pelaku korupsi akan bertentangan dengan norma universal, sampai pada titik di mana norma itu menjadi “hukum bagi mereka sendiri”. Karena itu, jaringan korupsi bisa sangat rahasia, abstrak, dan sulit diperiksa atau diatur.
Peraturan pengadaan barang, konflik kepentingan, lobi serta berbagai kebijakan integritas—seperti kode etik dan kewajiban melapor bila mendapat hadiah—dibuat tidak hanya untuk mencegah korupsi individu, juga korupsi kolektif. Sebab kecurangan tender, lobi, konflik kepentingan seringkali bukan karena tindak individu tapi lebih karena normalisasi perilaku jaringan korupsi.
Celakanya, perilaku-perilaku korup itu belum diadopsi dalam aturan dan undang-undang antikorupsi yang berlaku di Indonesia saat ini. Kerugian baru diakui jika ada barang fisik yang rusak, seperti kerugian negara. Literatur korupsi memang masih politomi, yaitu ada individu yang korup (“apel yang buruk”) versus organisasi yang korup (“keranjang yang buruk”) versus sistem yang korup (“pembuat keranjang yang buruk”).
Untuk itu upaya pencegahan korupsi sektor pertanian perlu satu konsep agar definisinya menjadi jelas sehingga diakui oleh hukum. Tanpa konsep yang menjelma hukum, keterlibatan para akademisi dalam gerakan antikorupsi akan berputar di tingkat wacana belaka. (c-hu)
di-copy paste dari https://www.forestdigest.com/detail/1921/korupsi-sektor-pertanian?fbclid=IwAR30izvmwLIcilm3vDHu5c33-5OZ84jaj77iVZ3pj8ALw7JugvyoRQSMF4s guna kepentingan edukasi publik.