Clakclik.com, 22 Februari 2020--Kurang gizi, terutama tengkes atau stunting pada anak balita, adalah salah satu masalah serius, namun sedikit mendapat perhatian. Keseriusan masalah tengkes tentu saja terkait kerugian yang diakibatkan. Prevalensi tengkes pada anak balita Indonesia adalah 30,8 persen, jauh di atas prevalensi rata-rata global (22,2 persen). Sementara itu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan ambang batas stunting ≤20,0 persen.
Kerugian paling mendasar dari masalah stunting adalah bukan sekadar tubuhnya pendek, melainkan juga otaknya cetek (dangkal).
Menindaklanjuti persoalan masih tingginya angka prevalensi stunting di Indonesia, pemerintah telah menindaklanjuti dengan penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi. Selanjutnya, pada 30 Oktober 2013, Presiden RI meluncurkan ”Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi Seribu Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK)”.
Selain itu, pemerintah juga meluncurkan Program Seratus Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting). Untuk program terakhir ini, sudah dumilai pada 2018 dan akan berakhir tahun 2021.
Penting untuk dipahami bersama adalah bahwa persoalan gizi bukan hanya soal kesehatan saja. Bukan pula sekadar kekurangan asupan makanan bergizi. Tetapi semua itu merupakan kulit muka dari masalah dasarnya; yakni soal kemiskinan dan tingkat pendidikan yang rendah.
Fakta mengungkapkan kontribusi sektor kesehatan untuk memperbaiki status gizi masyarakat hanya 30 persen. Sisanya, sebesar 70 persen, adalah kontribusi sektor lain di luar sektor kesehatan.
Menurut WHO, 40 persen kasus gizi buruk pada anak balita di dunia adalah akibat buruknya akses air bersih. Penyediaan sarana untuk air bersih di Indonesia merupakan urusan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Instansi lain yang turut bertanggung jawab terhadap perbaikan gizi adalah Kementerian Pertanian, Sosial, Pendidikan, Perdagangan, Badan Ketahanan Pangan, dan industri pangan.
Oleh karena itu, ego sektoral perlu ditinggalkan. Fungsi koordinasi harus dioptimalkan dan tertuang dalam rencana strategis pembangunan di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Gubernur, bupati, dan wali kota memegang peranan penting sebagai motor penggerak sekaligus koordinatornya. (c-hu)