Pati, Clakclik.com—Akhir-akhir ini, dibanyak tempat di Indonesia, konflik berlatarbelakang suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) terus meningkat dari waktu ke waktu. Salah satu contoh misalnya, BBC News Indonesia pada 29 Agustus 2019 menerbitkan berita setidaknya ada 200 gereja di segel atau ditolak masyarakat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Aksi pengrusakan mushalla, praktik pengrusakan patung Hindu dan aneka lainnya terjadi dimana-mana.
Lebih dari semua itu adalah soal sikap antar manusia yang berbeda. Kita masih ingat bagaimana seorang ditolak saat mencari kost karena beda keyakinan di Jogjakarta, anak-anak kecil diajari sentiment agama di beberapa sekolah dan masih banyak lainnya.
Kisah-kisah diatas bertolak belakang 180 derajat saat kita berkunjung ke Kabupaten Pati di wilayah utara atau di wilayah lereng muria.
Di Desa Karangsari Kecamatan Cluwak, kita akan menemui bagaimana masyarakat dengan perbedaan keyakinan bisa kompak dalam urusan sosial. Jika ada warga yang meninggal dunia, anggota masyarakat yang berbeda-beda agama seperti Islam, Kristen, Budha, Konghucu bergotong royong menggali kubur untuk pemakaman warga yang meninggal dunia, tanpa menyoal siapa dan apa keyakinan orang yang meninggal tersebut.
Saat akun Facebook Karangsari Informasi memposting gotong royong warga yang sedang menggali kubur bersama yang dilakukan warga lintas agama pada Jum'at (21/2/2020) itu, banyak warganet yang berkomentar bahwa apa yang dilakukan warga Desa Karangsari layak dikembangkan di wilayah lain.
Di Desa Jrahi Kecamatan Gunungwungkal, bebepara hari lalu, seorang kepala desa terpilih yang beragama Kristen mengadakan acara pengajian dan sholawatan dalam rangka syukuran terpilihnya dan dilantiknya ia sebagai kepala desa. Warga memilih pemimpinnya tidak berdasarkan keyakinan agamanya, namun berdasar jejak perilakunya, pergaulan sosialnya kepada khalayak.
Peristiwa tersebut sempat menjadi pembicaraan masyarakat di sekitar Desa Jrahi. Sebagian mereka mengatakan bahwa Desa Jrahi merupakan desa Pancasila. Desa yang warganya memiliki aneka keyakinan beragama, namun tetap bersatu dan kompak dalam hal-hal sosial kemasyarakatan.
Di Desa Tegalombo, Kecamatan Dukuhseti, kita akan melihat bagaimana Pendeta Kristen menggiring anak-anak muda bersilaturrahim ke rumah-rumah warga desa yang beragama Islam pada saat Hari Raya Idul Fitri. Sebaliknya juga pada saat Hari Natal, warga Muslim menyampaikan ucapan Selamat Hari Natal dan mengujungi kerabatnya yang sedang merayakan. Mereka yang merayakan Natal juga berbagi kue untuk tetangga dan kerabatnya yang Muslim.
Tokoh Masyarakat Desa Tegalombo, Suparji mengatakan bahwa kebiasaan yang dilakukan warga desanya merupakan kebiasaan turun temurun. “Kami sudah biasa hidup rukun dan toleran. Tidak ada yang mengkondisikan, tidak ada campur tangan pemerintah. Semua berjalan sesuai kebiasaan yang diajarkan para orang tua kami terdahulu,” Kata Suparji, Jum'at (21/2/2020).
Di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, fakta-fakta praktik kebersamaan tidak hanya terjadi di 3 desa tersebut. Banyak desa di Pati yang bisa menjadi contoh tentang bagaimana toleransi antar umat beragama dan bagaimana hubungan sosial kemasyarakatan itu dibangun tanpa sekat agama. Semua orang bisa belajar dari desa-desa di Pati. (c-hu)