Oleh: Husaini; Sekretaris Desk Pilkada DPC PKB Pati, Jawa Tengah
Sudah sangat banyak kritik terhadap partai politik (Parpol) tentang mandulnya kaderisasi dan problem perekrutan kepemimpinan, namun hingga kini parpol seakan tak bergeming.
Hal itu bisa dilihat di Pilkada 2024, yaitu minimnya kader partai tampil sebagai kontestan politik. Padahal peluang itu dibuka lebar oleh keputusan Mahkamah Konstitusi terkait ambang batas pencalonan.
Seharusnya, parpol menyadari bahwa sesungguhnya para pemimpin mereka merupakan kader terbaik di internal. Oleh karena itu sangat layak untuk tampil menjadi kontestan dalam politik elektoral seperti Pilkada Serentak 2024 ini. Namun, yang terjadi tidak demikian. Parpol justru cenderung bergerombol mengusung calon non-kader.
Minimnya pucuk pimpinan dan kader partai dalam kontestasi politik menunjukkan ambiguitas peran parpol. Satu sisi, partai punya peran kendali dalam memunculkan kontestan, tetapi hingga kini partai belum mampu menghadirkan kader terbaiknya.
Kondisi ini seakan puncak gunung es dari gagalnya parpol menginstitusionalisasi diri. Partai tampil tak lebih dari sebuah struktur organisasi, susunan pengurus, bendera, dan legalitas lembaga. Minimnya pendidikan politik dan kaderisasi kepemimpinan adalah masalahnya.
Dampak dari situasi itu begitu buruk. Mereka yang berkeringat menjadi kader dan menggerakkan partai harus merelakan diri menjadi penonton atau pendukung saat musim kontestasi. Parpol yang punya legalitas kuasa dalam politik elektoral, tetapi tak percaya diri mengusung kader terbaiknya dalam kontestasi.
Salah satu peran hegemonik parpol adalah wewenangnya dalam menyediakan calon pemimpin. Parpol punya peran dominan terkait input, proses, dan output kepemimpinan publik. Kalaupun ada peluang calon perorangan untuk pilkada, tetapi dengan prasyarat yang berat, menjadikan partai politik punya ruang dominasi kontestasi lebih besar.
Dalam setiap kontestasi, parpol lebih sibuk mencari dan menjual "produk luar" daripada produk sendiri. Parpol lebih menempatkan dirinya sebagai organisasi penyedia ruang kontestasi sesuai selera pasar. Tak hanya itu, parpol juga memanfaatkan moment pemilihan pemimpin itu sebagai ajang bisnis mencari keuntungan. Pada titik ini, partai menggeser fungsi strategisnya sebagai kontestan menjadi penyedia lahan kontestasi. Parpol tak mempersoalkan identitas politik calon, tetapi pada daya jual dan branding di pasar.
Dari produsen pemimpin menjadi sekadar penyedia lapak, secara tidak langsung partai politik mendegradasi peran strategisnya. Secara de jure (undang-undang) sangat berkuasa, tetapi secara de facto partai tak berdaya memasarkan diri. Dalam konteks ini parpol kelasnya selevel dengan event organizer (EO).