18
Fri, Oct

Era Demokrasi Prosedural

Husaini-Sekretaris Desk Pilkada DPC PKB Pati

Inspirasi
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Oleh: Husaini; Sekretaris Desk Pilkada DPC PKB Pati, Jawa Tengah

Selama 1998-2024 kita terkesan menjalankan demokrasi sebatas prosedural saja. Kita telah mengalami defisit demokrasi. Hal ini ditandai dengan banyaknya distorsi atau penyimpangan di tataran pelaksanaan.

Walaupun demokrasi prosedural diperlukan dalam proses menuju konsolidasi, namun terlalu lama menjalani demokrasi prosedural akan menyebabkan disfungsi kelembagaan demokrasi dan membuat pemerintahan (terutama pemerintah daerah) semakin tidak berkualitas.

Masalahnya, bagaimana daerah dan pusat (para elite) memiliki persepsi yang sama tentang demokrasi agar maknanya tidak mudah diselewengkan atau disimpangkan. Demokrasi yang kita jalankan semestinya mengarah pada alinea ke-4 Konstitusi, yaitu untuk mencerdaskan bangsa dan menyejahterakan rakyat.

Husaini sebagai host dan Kiai Ali Musthofa sebagai narasumber dalam acara Ngaji Tani beberapa waktu lalu / Dok. Ngaji Tani

Jika demokrasi dimaknai dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, maka hasil akhirnya semestinya untuk rakyat. Realitasnya justru berbeda, rakyat acap kali diabaikan dan tidak diutamakan.

Padahal, demokrasi terkait erat dengan partisipasi rakyat, perlindungan terhadap warga negara, keadilan ekonomi-sosial, dan budaya (hak ekosob), dan hukum bagi setiap warga negara. Demokrasi mensyaratkan ditegakkannya sistem dan penegakan hukum (rule of law) yang menjadi landasan penting bagi tercapainya keadilan dan keamanan publik.

Oleh sebab itu diperlukan penataan sistem dan law enforcement yang menjamin agar warga negara taat dan tidak melanggar hukum. Yaitu, suatu sistem yang mengunci peluang bagi terjadinya pelanggaran hukum.

Sudah sangat banyak analis yang mengatakan bahwa sistem di Indonesia cenderung memberikan kesempatan terhadap terjadinya penyimpangan.  Transparansi dan akuntabilitas masih sangat minim dipraktikkan dan acap kali absen. Demokrasi yang substansial terkesan makin sulit terwujud dengan lemahnya penegakan hukum (law enforcement) dan kuatnya peran elite bermanuver.

Husaini / Dok. Pribadi

Pengalaman empirik di daerah menunjukkan bahwa perubahan sistem saja tidak cukup tanpa dipandu kepemimpinan kuat. Daerah membutuhkan model kepemimpinan yang transformatif: tegas, adil, mampu menginspirasi semangat berbangsa bernegara untuk maju, berpihak pada kesejahteraan rakyat, dan berani mengambil keputusan tegas.

Dibutuhkan pemimpin yang mampu menjadi teladan untuk pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik, bersih, dan melayani.

Selain itu semua, tentu saja masih banyak. Wallahu 'alam!

 

Sign up via our free email subscription service to receive notifications when new information is available.