Ada harga mahal yang harus dibayar pejuang lingkungan karena rendahnya perlindungan dari negara.
Bagi pejuang lingkungan, penyelamatan lingkungan dan ruang hidup masyarakat adalah tujuan utama advokasi mereka. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, ada harga mahal yang harus dibayar oleh pejuang lingkungan karena rendahnya perlindungan dari negara.
Vonis 7 bulan yang dijatuhkan kepada pejuang lingkungan Karimunjawa, Daniel Frits Maurits Tangkilisan, pada awal April lalu menjadi preseden buruk bagi publik. Hal tersebut memicu kekhawatiran ancaman pidana dan penjara bagi masyarakat yang memperjuangkan lingkungan.
Kasus Daniel bermula saat ia berkomentar dalam unggahannya di media sosial Facebook pada 12 November 2022. Ia menggambarkan dampak pencemaran limbah tambak udang di Pantai Cemara, Karimunjawa. Komentar tersebut dianggap sebagai ujaran kebencian dan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Berdasarkan pemberitaan Kompas (3/4/2024), Daniel pertama kali dilaporkan oleh seseorang berinisial R ke Kepolisian Resor Jepara pada 8 Februari 2023. Laporan tersebut diterima, kemudian Daniel diproses hingga ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka tertuang dalam surat bernomor S.Tap/82/VI/2023/Reskrim.
Jaksa Ida Fitriyani mendakwa Daniel menggunakan Pasal 45A Ayat 2 juncto Pasal 28 Ayat 2 UU No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE, yaitu melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak, menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarkat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan.
Kasus Daniel Tangkilisan ini dinilai sebagai bentuk kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan oleh sejumlah lembaga, seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL). SAFEnet juga menilai bahwa kasus ini merupakan bentuk strategic lawsuit against public participation (SLAPP) atau kriminalisasi untuk membungkam gerakan prolingkungan.
Sebuah ironi bagi hukum Indonesia di tengah upaya mulia penyelamatan lingkungan yang dilakukan masyarakat. Artinya, perlindungan bagi pejuang lingkungan di Indonesia masih sangat lemah. Padahal, menurut Pasal 66 UU No 32 Tahun 2009, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Kasus lainnya
Rangkaian jeratan hukum juga dihadapi banyak individu dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap lingkungan di seluruh Indonesia. Ratusan kasus kriminalisasi terjadi silih berganti di sejumlah daerah. Berdasarkan data Auriga Nusantara, sepanjang 2014-2023 tercatat 133 kasus kekerasan dan kriminalisasi yang menimpa pejuang lingkungan.
Dari ratusan kasus yang tercatat, 62 persen adalah kasus kriminalisasi. Jenis ancaman lainnya adalah kekerasan fisik, intimidasi, pembunuhan, perusakan properti, dan imigrasi atau deportasi. Kasus kriminalisasi dilakukan menggunakan berbagai instrumen hukum, mulai dari KUHP, UU Minerba, hingga UU ITE.
Auriga Nusantara mengumpulkan catatan kematian sejumlah pejuang lingkungan di seluruh Indonesia. Golfrid Siregar, seorang advokat dan pejuang lingkungan hidup, meninggal karena menggugat pembangunan PLTA Batang Toru di Sumatera Utara tahun 2019. Ada pula Marius Batera, petani di Papua Selatan, meninggal saat melawan perusahaan sawit PT Tunas Sawa yang merusak lahan miliknya pada tahun 2020.
Kisah pejuang yang dibunuh lainnya adalah Arman Damopolii, petani di Sulawesi Utara, yang meninggal karena ditembak orang tak dikenal saat melakukan aksi protes terhadap aktivitas tambang emas ilegal PT Bulawan Daya Lestari pada 2021. Hal serupa dialami Jurkani, advokat Kalimantan Selatan, yang meninggal karena dikeroyok orang tak dikenal saat mengusut kasus tambang ilegal PT Anzawara Satria.
Tindak kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan berlanjut dalam berbagai rupa, mulai dari jerat ujaran kebencian hingga pencemaran nama baik. Kisah pilu dirasakan Jasmin dan 21 warga lainnya yang tinggal di Pulau Wawonii. Mereka ditangkap polisi dari Polda Sulawesi Tenggara pada Sabtu, 24 November 2019, sekitar pukul 17.00 waktu setempat, karena konflik dengan PT Gema Kreasi Perdana. Warga berusaha mempertahankan lahan miliknya yang diterobos oleh perusahaan tambang nikel tersebut.
Pejuang lingkungan di Kalimantan Barat, Muhammad Sandi, menjadi tersangka pencemaran nama baik karena mengadvokasi kerusakan lingkungan yang menimpa ratusan warga di enam desa akibat perkebunan sawit tahun 2019. Warga mengalami penyakit kulit karena limbah sawit yang mencemari sungai sekitarnya.
Penyelamatan lingkungan
Pejuang lingkungan adalah bagian tak terpisahkan dalam upaya menciptakan pelestarian lingkungan secara berkelanjutan. Mereka adalah individu dan kelompok yang secara sadar dan berdedikasi tinggi terhadap perlindungan lingkungan. Pasalnya, kerusakan lingkungan adalah kerugian besar bagi umat manusia karena kehilangan ruang hidup dan penghidupannya.
Praktik-praktik perusakan lingkungan akan menyebabkan dampak yang meluas secara cepat dan sangat sulit dipulihkan. Salah satu contohnya adalah Pulau Obi di Maluku Utara dan Pulau Wawonii di Sulawesi Tenggara yang rusak karena tambang nikel. Banjir bandang terjadi berulang dan masyarakat mengalami banyak kerugian ekonomi, termasuk infeksi penyakit karena pencemaran limbah tambang.
Contoh lain adalah konflik pembangunan bendungan di Wadas, Jawa Tengah. Aktivitas tersebut dinilai akan mematikan mata pencarian sebagian besar warga dan merusak lingkungan. Warga khawatir akan banyak timbul bencana setelah pembangunan dan penambangan batuan untuk bendungan sebab perbukitan di Wadas adalah daerah penyangga kawasan Kabupaten Purworejo.
Bencana ekologis tentu tak terhindarkan akibat eksploitasi sumber daya alam. Bencana tersebut meliputi kejadian bencana ekstrem; pencemaran air, tanah, dan laut; kerusakan hutan dan sulitnya akses pangan; serta migrasi paksa karena hilangnya ruang hidup masyarakat. Upaya advokasi oleh pejuang lingkungan adalah jalan untuk mengembalikan keseimbangan lingkungan dengan menghentikan berbagai aktivitas yang merusak.
Sayangnya, perlindungan terhadap pejuang lingkungan masih terbilang rendah di Indonesia. Ratusan kasus kriminalisasi terjadi selama satu dekade terakhir. Ini adalah fenomena gunung es, mengingat luasnya wilayah Indonesia dan banyaknya praktik tambang serta perkebunan yang berdekatan dengan permukiman warga. Artinya, masih sangat banyak kasus yang belum terungkap.
Pemerintah Indonesia perlu menguatkan kembali kebijakan pengelolaan lingkungan melalui evaluasi dan pengawasan izin tambang atau perkebunan. Harga mahal yang harus dibayar pejuang lingkungan harusnya tidak perlu terjadi karena mereka adalah penyambung lidah masyarakat yang haknya terampas sepihak. Dan, yang terpenting, mereka adalah warga negara yang patut mendapat perlindungan hukum. (LITBANG KOMPAS)
Disalin dari https://www.kompas.id/baca/riset/2024/04/30/mahalnya-harga-yang-harus-dibayar-para-pejuang-lingkungan?open_from=Section_Riset oleh Clakclik.com untuk kepentingan literasi publik.