Clakclik.com, 4 Juli 2023--Fenomena El Nino yang memicu penurunan curah hujan dan meningkatkan musim kemarau akan berdampak terhadap sektor pertanian. Upaya adaptasi perlu dilakukan dengan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia di sektor pertanian, baik petani, peneliti, pemangku kebijakan, maupun para penyuluh.
Guru Besar Bidang Biometeorologi IPB University Yonny Koesmaryono mengemukakan, fenomena El Nino tidak perlu terlalu ditakuti oleh berbagai pihak, khususnya di sektor pertanian. Sebab, selama ini sektor pertanian di Indonesia sudah terbiasa menghadapi pergeseran musim, termasuk kondisi iklim lebih kering atau cuaca ekstrem lainnya.
”El Nino pernah menguat pada tahun 1965, 1972, dan 1997. Saat itu memang ada penurunan produktivitas. Jadi, kita pernah mengalami ini dan bisa beradaptasi,” ujarnya dalam diskusi tentang El Nino di bidang pertanian yang diadakan Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (Perhimpi) di Jakarta, Selasa (4/7/2023).
Yonny menjelaskan, sejumlah wilayah di Indonesia memiliki pola hujan berbeda. Pola hujan di Indonesia terbagi atas ekuatorial, monsunal, dan lokal.
Wilayah dengan pola hujan ekuatorial dan lokal masih berpotensi mendapat curah hujan tinggi pada Agustus-September. Sebagian wilayah ini berada di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Kemudian wilayah yang memiliki pola hujan bertipe monsunal seperti di Jawa memiliki puncak musim hujan pada Desember-Februari dan puncak musim kemarau pada Juni-September.
Sementara wilayah dengan pola hujan lokal, seperti sebagian kecil daerah di Papua dan Maluku, mengalami puncak curah hujan pada bulan Juli-Agustus.
Menurut Yonny, kondisi pola hujan yang berbeda-beda di sejumlah wilayah tersebut membuat semua pihak harus menghadapinya dengan mengacu pada kondisi lokal. Di sisi lain, hal ini juga perlu didukung dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) dan adaptasi dengan penggunaan teknologi.
Melalui peningkatan kapasitas, SDM di bidang pertanian, khususnya petani, perlu memahami berbagai hal terkait iklim beserta cara penanggulangannya. Beberapa di antaranya terkait dengan aspek teknologi usaha tani, pola tanam, jenis komoditas, serangan hama dan penyakit, dan pertumbuhan dan produksi tanaman.
”Data menunjukkan 70 persen petani kita hanya lulusan sekolah dasar. Akan tetapi, mereka bukan orang bodoh. Sebaliknya, mereka memiliki intuisi dan pengalaman. Oleh karena itu, mereka harus terus diberikan materi dan stimulan agar menyadari bahwa lingkungannya harus dikelola dengan baik,” tutur Yonny.
Salah satu upaya peningkatan kapasitas ini telah dilakukan melalui program Sekolah Lapang Iklim (SLI). Program yang dikembangkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan bekerja sama dengan berbagai pihak ini bertujuan meningkatkan pemahaman petani dan petugas penyuluh pertanian terhadap data serta informasi iklim yang dapat diaplikasikan pada aktivitas pertanian.
Peningkatan kapasitas SDM pertanian ini tidak hanya perlu dilakukan para petani, tetapi juga pihak lain, seperti peneliti, dinas pertanian, dan penyuluh. Para peneliti di bidang pertanian dapat melakukan hilirisasi riset dan melihat kebutuhan riil di lapangan.
Sementara dinas dan penyuluh dapat menjalankan berbagai program, diseminasi, dan alih teknologi.
”Adaptasi dan mitigasi harus berfokus pada pengelolaan, peningkatan kapasitas, dan pemberdayaan sumber daya manusia. Hal ini bertujuan agar sumber daya alam di sekitarnya, yakni spesifik lokasi, dimanfaatkan secara efisien, efektif, dan tepat waktu. Kemudian pemerintah harus hadir sebagai fasilitator,” kata Yonny.
Guru Besar Purnabakti Antropologi Universitas Indonesia Yunita T Winarno mengatakan, pemberian materi dan berbagai penjelasan terkait iklim dan pertanian kepada petani harus dilakukan dengan pendekatan khusus. Sebab, petani tidak bisa menerima informasi yang bersifat abstrak dan di luar pengetahuan sehari-hari mereka.
”Perubahan iklim hanya bisa dipahami petani dari pengalaman, seperti kenapa sekarang musim hujan berubah. Risiko perubahan iklim semakin tidak terduga dan sulit dibayangkan. Mereka bisa belajar dari masa lalu, tetapi tidak bisa belajar dari masa depan,” ucapnya.
Salah satu upaya Yunita dibantu pihak lain untuk memberi literasi kepada petani ialah dengan membentuk warung ilmiah lapangan. Selain mencari upaya terbaik menghadapi dampak perubahan iklim bidang pertanian, kegiatan ini juga bertujuan membuat petani menjadi seperti peneliti.
Dengan didampingi ilmuwan dan petugas, petani mendapat pengayaan pengetahuan, kemampuan analisis dan antisipasi, serta dilatih mengambil keputusan.
”Kapasitas petani harus diutamakan, tetapi penyampaian literasi ini dilakukan dengan cara tepat dan berkelanjutan. Jadi, antropolog perlu belajar juga agar bisa memberikan literasi dengan bahasa petani. Inilah yang disebut transdisiplin,” ujarnya.(c-hu)