Oleh: Husaini, Pegiat Pengorganisasian dan Advokasi Warga, Ketua DPC. Sarbumusi Pati.
Pemberdayaan perempuan masih menjadi pekerjaan rumah besar di tengah belenggu budaya patriarki terhadap kesetaraan jender, baik di tataran nasional maupun global.
Kondisi ini diperparah oleh krisis multidimensi akibat perang/konflik, pandemi, lonjakan harga pangan dan energi, serta perubahan iklim yang memperlebar kesenjangan jender.
Tidak ada solusi cepat untuk menghilangkan kesenjangan jender. Solusi untuk itu harus berskala besar dan komprehensif, mencakup kebijakan nasinal, lokal, serta kesadaran kita semua akan pentingnya kesetaraan jender untuk kehidupan yang lebih baik.
Perlu kerja sama pemerintah hingga masyarakat untuk mewujudkan kesetaraan jender, dan perempuan harus saling mendukung untuk mengatasi tantangan mewujudkan kesetaraan jender.
Dalam tiga dekade terakhir, para perempuan di sejumlah belahan dunia saling mendukung untuk berjuang mencapai kesetaraan jender.
Perjuangan ini terutama untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan, wujud paling jelas dari kesenjangan dan diskriminasi jender yang tertanam kuat di semua sistem sosial.
Meski belum sepenuhnya dapat menghilangkan kesenjangan jender, perjuangan mereka telah membawa perubahan positif.
Pada 1993, dalam Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia di Wina, sekitar setengah juta perempuan menandatangani petisi, menuntut kekerasan terhadap perempuan diakui sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Dan pada 1995 dalam Konferensi Dunia Keempat tentang Perempuan, di Beijing, perempuan menuntut pertanggungjawaban negara atas tindakan pencegahan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Setahun kemudian, Majelis Umum PBB membentuk mekanisme pendanaan (Trust Fund) untuk mendukung upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Perjuangan yang sama dilakukan perempuan, baik secara individu maupun kelompok, di sejumlah negara. Yang paling mutakhir, di Iran, perempuan mengambil peran memimpin aksi memprotes aturan berpakaian bagi perempuan.
Gerakan melawan diskriminasi dan kekekerasan berbasis jender yang dipicu kematian Mahsa Amini ini berhasil mendorong pemerintah Iran membubarkan Polisi Moralis yang bertugas memastian perempuan Iran mentaati aturan tentang cara berpakaian.
Di Indonesia dimulai dari RPJMN II tahun 2010-2014, pemerintah menempatkan pembangunan kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan menjadi salah satu komponen penting pembangunan.
Perempuan memiliki peran penting untuk menentukan masa depan bangsa. Untuk ini, perempuan harus berdaya agar dapat mengoptimalkan potensinya.