Oleh: Husaini, Pegiat Pengurangan Risiko Bencana Nasional, Ketua LAZISNU Kec. Pucakwangi, Pati, Jawa Tengah
Melihat perkembangan kabar jumlah pengungsi dan korban jiwa gempa di Cianjur dan Sukabumi yang terus bertambah, tentu kita prihatin.
Gempa bumi dengan kekuatan M 5,6 pada Senin (21/11/2022) itu terjadi di siang hari. Pusat gempa berada pada kedalaman 10 kilometer, yang masuk kategori gempa dangkal.
Update data yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hingga Jum'at (25/11/2022), sebanyak 272 orang meninggal dan 62.545 orang terpaksa mengungsi. Evakuasi korban memang tidak mudah karena tertimbun tanah longsor atau bangunan. Sementara transportasi terputus karena jalan dan jembatan rusak.
Kejadian gempa Cianjur-Sukabumi mengingatkan pada gempa di Jogjakarta 2006 lalu. Gempa berkekuatan M 5,9 itu menewaskan lebih dari 5.000 orang, meluluhlantakkan sekitar 4.000 bangunan dan infrastruktur. Pusat gempa berada di darat, 15 kilometer timur Sesar Opak.
Kedua gempa sama-sama dangkal, berpusat di darat, dan dengan kekuatan yang tidak jauh berbeda. Kedua wilayah juga sama-sama di jalur gempa. Kawasan Cianjur-Sukabumi dilalui sesar darat Cimandiri, sedangkan Jogyakarta dilalui Sesar Opak.
Istimewa/foto di-copy paste dari media sosial twitter
Jumlah penduduk yang terus bertambah mengokupasi daerah-daerah rawan bencana. Belanda dulu melarang membangun rumah tembok dan merekomendasikan bahan kayu dan bambu di Cianjur-Sukabumi. Kawasan Cugenang yang rawan longsor dan sekarang menelan banyak korban jiwa bahkan tidak boleh dihuni.
Sayang sekali, semua pengetahuan itu lenyap ditelan zaman. Pemerintah bahkan memasukkan rumah kayu dan bambu sebagai salah satu kriteria orang miskin sehingga masyarakat berlomba membangun rumah tembok. Ini setali tiga uang dengan makan nasi sebagai kriteria kesejahteraan sehingga merusak diversifikasi dan ketahanan pangan.
Meski para ahli sudah berulang kali mengingatkan, tidak pernah ada upaya mitigasi ataupun sosialisasi yang menyeluruh agar dampak bencana tidak berulang. Bahkan, kawasan pantai Banda Aceh yang habis disapu tsunami tahun 2004 kini kembali dipadati permukiman.
Pemerintah, pusat dan daerah, berkewajiban menyelesaikan pekerjaan rumah ini. Seiring dengan penanganan korban dan dampak gempa perlu diimplementasikan cetak biru tata ruang yang berbatas tegas dengan zonasi rawan bencana.
Rakyat perlu terus didorong untuk membangun rumah tahan gempa, yang sesungguhnya sudah menjadi kearifan lokal Nusantara berabad-abad.
Sisi lain, usaha mengombinasikan dengan pengetahuan modern seperti barrataga (bangunan rumah rakyat tahan gempa) yang diinisiasi Sarwidi, Guru Besar Fakultas Teknik Sipil Universitas Islam Indonesia, Jogyakarta, atau melapisi dinding bata dengan kawat ayam, seperti yang disarankan dan sudah dipraktikkan ahli bangunan aman gempa, Teddy Boen penting dipopulerkan.
Perlu selalu kita ingat bahwa posisi geografis Indonesia yang berada di pertemuan lempeng mewajibkan kita harus belajar hidup bersama gempa. Dampak gempa sesungguhnya bisa diminimalkan dengan pengetahuan, ketrampilan, serta kesadaran yang terbangun secara sistematis di masyarakat.