Pertanian masih jadi salah satu kontributor utama pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, produktivitasnya kian turun, kualitas kontribusinya makin tak membahagiakan.
Editorial | Clakclik.com | 9 Mei 2021
Risikonya, tenaga kerja yang mayoritas bergantung pada sektor ini juga kian tak pasti kehidupannya. Sebagian persoalan yang dialami petani terletak pada masalah fluktuasi harga komoditas, distribusi alat dan mesin pertanian yang tidak tepat sasaran, tetapi sebagian lagi justru sangat bergantung pada masa panen dari komoditas itu sendiri.
Siklus panen jadi bagian dari kelangsungan hidup petani. Jika gagal panen, para petani akan terimbas masalah tambahan. Utang akan menumpuk, beban hidup makin berat, dan kelangsungan kehidupan keluarganya pun akan terancam.
Siklus hidup semacam ini akan terus membayangi kualitas regenerasi keluarga petani. Kualitas hidup anak-anak mereka akan semakin terancam. Kesehatan anak-anak para petani sangat bergantung pada kantong orangtuanya. Semakin baik penghasilan akan semakin baik nutrisi yang didapatkan keluarga mereka. Namun, jika gagal panen yang terjadi, asupan nutrisi pun kian tak pasti.
Tak hanya sampai di situ, asupan nutrisi yang kurang berkualitas akan setali tiga uang dengan kualitas perkembangan intelektualitas anak petani. Anak-anak yang memiliki nutrisi baik cenderung mengalami perkembangan intelektual yang baik. Namun anak-anak yang kurang asupan nutrisi, perkembangan intelektualnya justru cenderung memburuk. Malas belajar, malas bersekolah, bahkan tak jarang memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah karena harus ikut memikul beban ekonomi keluarga.
Hal dilematis lainya, jika para petani berhasil melewati masa krisis dan mampu meningkatkan taraf hidupnya, lalu menghasilkan anak-anak yang berpendidikan modern di daerah perkotaan, ancaman selanjutnya datang dari sisi degenerasi. Petani justru kian kekurangan penerus. Anak-anak yang dikirim ke kota untuk menimba ilmu justru enggan kembali ke desa dan enggan memajukan usaha pertanian orangtuanya.
Dengan kondisi itu, praktis yang tersisa berjuang di sektor pertanian adalah yang memang terpaksa menjadi petani karena tak ada lagi yang bisa dilakukan di luar sektor ini. Pertanian menjadi sektor turun-temurun yang dilakukan karena keterpaksaan. Tak heran bila kualitas komoditas pertanian hasil garapan petani dianggap di bawah standar.