Sejak muncul pertama kali di Indonesia pada 1987, epidemi infeksi HIV terus meningkat. Konsistensi pemerintah dalam menangani HIV/AIDS terus dinanti.
Editorial | Clakclik.com | 1 Desember 2020
Kementerian Kesehatan mencatat, hingga Juni 2018, kasus HIV/AIDS telah dilaporkan keberadaannya oleh 433 dari 514 kabupaten/kota di 34 provinsi di Indonesia. Jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai Juni 2018 sebanyak 301.959 jiwa.
Secara demografis, kasus ODHA paling banyak ditemukan di kategori umur 25-49 tahun dan 20-24 tahun. Secara geografis, provinsi dengan jumlah infeksi HIV tertinggi adalah DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Papua, dan Jawa Tengah.
Sejak muncul kasus HIV/AIDS pada 1987 di Bali, inisiatif awal Pemerintah RI dalam menanggulangi HIV/AIDS adalah membentuk Panitia Penanggulangan HIV/AIDS melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 339/IV/1988 dan SK Menkes No 31/IV/1989.
Selain itu, proses pendataan awal para pengidap HIV/AIDS juga dilakukan melalui Instruksi Menkes No 72/ii/1988 dan SK Dirjen PPM&PLP Depkes RI No 2/6/1988 yang mengatur tentang kewajiban melaporkan pengidap gejala AIDS.
Setelah ada lonjakan tajam kasus infeksi HIV baru pada awal dekade 1990-an, barulah pemerintah melihat urgensi penanganan HIV/AIDS.
Evolusi lembaga
Pemerintah lalu membentuk Panitia Penanggulangan HIV/AIDS, yang kemudian ditransformasi menjadi badan bernama Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), pada 1994 dengan terbitnya Keppres No 36/1994. Keputusan ini kemudian menjadi dasar pembentukan KPA di tingkat nasional, disusul KPA di tingkat provinsi.
Terbentuknya badan nasional memantik perjuangan pemerintah dalam menangani HIV/AIDS secara lebih terarah. Badan yang awalnya dibidani Kemenkes ini kemudian didukung sejumlah kementerian lain.
Langkah ini ditindaklanjuti dengan penyusunan Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS (Sranas 1994), yang diteruskan dengan pembuatan Strategi Penanggulangan AIDS Nasional untuk Pelita VI. Masuknya HIV/AIDS dalam Pelita VI menunjukkan keseriusan pemerintah dan menjadi batu loncatan dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.
Saat itu, penanganan HIV/AIDS oleh KPA dan pemerintah fokus pada beberapa isu. Isu pertama yang menjadi fokus pada masa itu ialah penularan HIV melalui pengguna narkoba suntik.
Para pengguna narkoba suntik memiliki faktor risiko besar, terutama yang menggunakan jenis narkoba suntik dan berperilaku seksual tidak aman. Upaya itu diperkuat UU No 5/1997 tentang Psikotropika.
Selain melalui penanganan terhadap pengguna narkoba suntik, HIV/AIDS di Indonesia juga dicegah melalui pintu geografis. Di masa tersebut terdapat beberapa provinsi di Indonesia yang mengalami peningkatan infeksi HIV baru yang signifikan jika dibandingkan dengan provinsi lain.
Salah satu contoh provinsi yang mengalami epidemi HIV saat itu adalah Papua. Sejak ditemukan kasus HIV pertama tahun 1992, total kumulatif kasus HIV/AIDS di provinsi ini meningkat hingga 377 kasus. Angka ini terus bertambah hingga 2014, yang secara kumulatif terdapat lebih dari 16.000 kasus HIV/AIDS.
Melihat fenomena ini, pemerintah membuat Komitmen Sentani pada 2004. Saat itu, pemerintah menentukan provinsi prioritas penanggulangan HIV/AIDS, yaitu Papua, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Bali. Dengan adanya prioritas tersebut, strategi penanganan dan sumber daya dapat dialokasikan secara lebih efektif.
Isu lain yang menjadi fokus KPA adalah soal akses pada pengobatan. Hingga saat ini belum ada obat yang dapat melumpuhkan virus HIV dan mengobati AIDS.
Namun, untuk dapat memperpanjang usia dan menjaga kondisi imun, ODHA diobati dengan terapi antiretroviral (ART). Umumnya ART terdiri atas kombinasi berbagai macam obat antiretroviral (ARV). Tak pelak, memastikan ODHA bisa mendapatkan akses pengobatan menjadi penting dalam menekan angka kematian.
Upaya pemerintah dalam menanggulangi HIV/AIDS berbuah hasil. Walau angka infeksi HIV baru masih fluktuatif, artinya belum dapat ditekan hingga terjadi tren yang negatif, angka kematian akibat AIDS menurun secara signifikan selama satu dekade terakhir. Tentu keberhasilan ini tidak dapat dilepaskan dari keseriusan lembaga serta konsistensi kebijakan penanggulangan HIV/AIDS yang berkesinambungan.
Hal ini dapat terlihat dari case fatality rate (CFR) akibat AIDS dari 2009 hingga 2018. Pada 2009, CFR akibat AIDS di Indonesia berada di angka 6,12 persen. Angka ini berhasil ditekan hingga berada di level 1,03 persen pada 2018. Penurunan paling signifikan terjadi pada 2012 ke 2013, saat CFR turun dari 4,36 persen menjadi 2,67 persen.
Pembubaran KPA
Babak baru penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia muncul 2016 lalu. Presiden Joko Widodo memutuskan untuk meninjau ulang keberadaan KPA melalui Peraturan Presiden (Perpres) No 124/2016. Pada Pasal 17a disebutkan, Komisi Penanggulangan AIDS dibebastugaskan paling lambat 31 Desember 2017. Penanganan HIV/AIDS kemudian dilakukan oleh Kemenkes.
Ketiadaan KPA mengandung beberapa konsekuensi dan catatan. Kekhawatiran pertama, penanggulangan HIV/AIDS terkait banyak sektor sehingga terlalu luas jika ditempatkan di Kemenkes. Selain itu, menghambat koordinasi lintas kementerian.
Substansi Perpres No 124/ 2016 yang banyak dipersoalkan adalah penempatan Sekretariat KPA di bawah Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes. Cara pandang terkait efisiensi anggaran dalam membubarkan KPA dan menempatkan sekretariatnya ke Kemenkes juga dinilai kurang tepat.
Selain itu, Perpres No 124/2016 dikhawatirkan menggugurkan semua produk hukum terkait penanggulangan HIV/AIDS era Perpres No 75/2006 serta masalah pendanaan penanggulangan HIV/AIDS.
Studi UNAIDS-NAC pada 2013 menyebutkan, pendanaan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia masih dibantu donor internasional. Dengan dibubarkannya KPA, pencairan dana hibah bisa ikut terganggu.