Pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron soal terorisme menuai kritik dari pemimpin sejumlah negara Islam. Marcon mengatakan bahwa insiden pembunuhan yang menewaskan empat orang di Perancis adalah serangan tipikal teroris Islam.
Editorial | Clakclik.com | 2 Nopember 2020
Presiden Indonesia Joko Widodo mengecam pernyataan Presiden Macron. Menurut Jokowi, pernyataan Macron itu telah melukai perasaan umat Islam di dunia dan bisa memecah belah persatuan antarumat beragama di dunia.
”Terorisme adalah terorisme. Teroris adalah teroris. Terorisme tidak ada hubungannya dengan agama apa pun. Terakhir, Indonesia mengajak dunia mengedepankan persatuan dan toleransi beragama untuk membangun dunia yang lebih baik,” kata Presiden seusai menggelar pertemuan dengan pemimpin agama di Istana Merdeka, Sabtu (31/10/2020).
Insiden di Perancis ini berawal ketika Samuel Paty menunjukkan kartun Nabi Muhammad kepada muridnya selama pelajaran kebebasan berpendapat. Paty pun dibunuh di Paris. Lalu, pada 29 Oktober 2020, tiga warga Perancis ditikam di gereja Basilika Notre Dame di Nice. ”Indonesia mengecam keras terjadinya kekerasan di Paris dan Nice yang telah memakan korban jiwa,” ujar Presiden Jokowi.
Pesan Presiden Jokowi dan kritikan pemimpin negara Islam lain terhadap pernyataan Macron sangat jelas. Begitu juga pertanyaan Presiden Macron dengan dalih kebebasan berekspresi. Namun, tidak berarti keduanya terpisah sehingga tidak bisa dicari titik temu. Di sinilah kita melihat pentingnya pertemuan Paus Fransiskus dengan Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed al-Tayeb di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, pada 2019. Mereka menandatangani dokumen bersejarah tentang persaudaraan manusia untuk perdamaian dunia dan hidup berdampingan guna menangkal radikalisme serta terorisme.
Pertemuan seperti itu mesti ditindaklanjuti dengan pertemuan yang melibatkan para pemimpin agama di tiap negara. Mengingat pertemuan semacam ini dapat meluaskan pandangan, pemahaman, serta perspektif baru beragama hingga muncul belarasa, rasa saling memahami dan menghargai.
Agar bisa relevan menghadapi perkembangan zaman, semua pemimpin agama dituntut terus memberikan perspektif baru atau bahkan menafsirkan ulang teks-teks suci agama agar mampu menyesuaikan dengan perkembangan hak-hak sipil, termasuk kebebasan berpendapat.
Kesamaan pandangan, baik dari segi perspektif baru beragama maupun hak-hak sipil warga penting dipertemukan untuk menemukan batasan bersama yang dapat diterima warga dan pemimpin di tiap negara.
Diskusi bersama menyangkut hubungan agama dengan negara yang bisa diterima semua sistem kenegaraan modern untuk menghilangkan rasa saling curiga perlu terus digalakkan.