Di Kamis pagi 9 Juli lalu, ratusan seniman berbondong menuju ke kompleks kantor bupati Pati (Alun-alun simpang lima dan pendopo). Ada dua tujuan yang hendak dilakukan yakni (1) aksi meminta agar Gugus Tugas Covid-19 Pati bersedia melonggarkan aturan soal keramaian dengan tujuan mereka bisa mendapatkan job pentas meski dengan pengetatan aturan, (2) menggelar do’a bersama agar Corona segera sirna.
Editorial | Clakclik.com | 11 Juli 2020
Para seniman mengambil tindakan ber-aksi dan berdo’a karena sudah tak tahan berbulan-bulan menjadi pengangguran: keluarga butuh makan dan kebutuhan hidup yang layak. Sebelumnya, mereka sudah melakukan audiensi kepada DPRD dan juga pihak eksekutif Pemkab Pati secara terbatas namun hasilnya tidak ada.
Dalam banyak video yang beredar di media sosial, sebagian mereka dihadang polisi di perjalanan dengan alasan karena membawa sound system (menimbulkan gangguan sosial), dan membatasi jumlah peserta aksi untuk mencegah kerumunan agar tidak terjadi penularan Covid-19. “Semua demi kebaikan bersama,” begitu kurang lebih penjelasan pihak kepolisian.
Ada pertanyaan menarik saat para seniman ini melakukan aksi didepan pintu gerbang kantor bupati. Diantara teriakannya adalah, jika seniman tidak diberi ijin pentas, keramaian di masyarakat tidak boleh diselenggarakan, kenapa tempat prostitusi seperti LI/Lorong Indah di Margorejo tetap buka dan aman-aman saja, mengapa tempat-tempat karaoke juga selalu buka dengan promosi terbuka di media sosial dan tidak apa-apa?
Beberapa waktu lalu, menanggapi keluhan soal beroperasinya tempat karaoke, Bupati Pati Haryanto mengatakan di media kalau mereka itu curi-curi alias berkegiatan tanpa ijin. Namun, jika itu dilakukan curi-curi, kenapa hanya di razia sebentar lalu dibiarkan buka kembali (di hari berikutnya)? Kenapa tidak diberi sanks misalnya disegel atau ditutup dengan pengawasan serius?
Tampaknya, pandemi Covid-19 ini selain sebagai sebuah wabah, juga sebagai cara Tuhan menunjukkan kepada warga Pati bahwa selama ini ada masalah, ada ketidakberesan yang terjadi dalam pengelolaan kabupaten Mina Tani ini. Berlahan-lahan, praktik ‘hitam’ pemerintahan di Pati terkuak pelan-pelan.
Sejumlah warganet di media sosial lalu bilang dengan tulisan: makanya besuk lagi saat coblosan, jangan mau ditukar suaramu dengan limabelasribuan!
Kita sekarang sedang menuai dampak buruk dari praktik demokrasi yang pedomannya transaksi. Ada uang Anda bisa sewenang-wenang, tak ada uang siap-siaplah untuk ditendang.
Namun, toh kita semua gampang lupa dan pemaaf. Kedepan, kita masih berpeluang mengulanginya lagi. Oleh karenanya: selamat menikmati. Dosa politik limatahunan adalah peristiwa buruk namun menyenangkan untuk selalu diulang.
Dalam pepatah Jawa, kita semua saat ini sedang mengalami apa yang disebut sebagai "Ngunduh Wohing Pakarti".