25
Mon, Nov

Stigma; Tantangan Komunikasi Wabah Covid-19

Ilustrasi / Clakclik.com

Inspirasi
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Stigma atau anggapan negatif kepada orang yang terpapar Covid-19 itu nyata. Sekali muncul kabar ada kasus di daerah tertentu, ada kepanikan yang turut beredar menyertainya. Stigma ini pula yang menyulitkan penanganan pandemi seperti yang terjadi saat ini.

Editorial | Clakclik.com | 12 Juli 2020

Di Kabupaten Pati, kisah tentang aneka stigma itu juga terjadi. Di Desa Tondomulyo, Kecamatan Jakenan misalnya. Saat ramai pemerintah melakukan tracking dan rapid test di desa itu, masyarakat desa tetangga jadi heboh. Sejumlah perlakuan tidak menyenangkan kepada warga Desa Tondomulyo terjadi.

Sunhadi, salah satu tokoh masyarakat Desa Tondomulyo menceritakan kisah itu kepada Clakclik.com beberapa waktu lalu bahwa jangankan orang dewasa, anak-anak saja saat hendak bermain dan berkunjung ke desa sebelah ditolak dan disuruh kembali.

“Warga kami yang ke sawah di sekitar desa tetangga, saat hendak mampir ke warung untuk membeli minuman dan gorengan saja ditolak pemilik warungnya,” kata Sunhadi.

Selain itu, saat sejumlah warga Desa Tondomulyo digelandang petugas untuk dikarantina di hotel, terjadi perdebatan diantara warga tentang informasi yang simpang siur.

“Jika si A dikabarkan positif Covid-19, keluarganya marah dan membantah. Pokoknya kondisi desa kami sempat kacau gara-gara Covid-19. Diperparah dengan informasi yang tidak jelas dari pemerintah. Semakin menimbulkan kasak-kusuk dan membuat suasana desa jadi tegang,” tambah Sunhadi.

Hal yang sama juga terjadi di desa lain di Pati. Selain masyarakat, pihak pemerintah desa juga mengalami kepanikan. Sebuah desa di wilayah Pati Utara yang saat ini masuk zona merah, kepala desa-nya langsung menulis maklumat dan dikirim melalui pesan whatsapp. Pesan itu kemudian tidak hanya beredar dalam lingkup satu desa, namun beredar jauh tak terkendali.

“Dasar test swab dari rumah sakit terhadap salah satu warga desa…..positif Covid-19, dimohon untuk seluruh warga agar waspada. Untuk sementara agar menghentikan kegiatan yang mengundang banyak kerumunan: kumpulan RT, posyandu, tahlilan, dan lain-lain.” begitu kurang lebih maklumat yang beredar melalui pesan berantai itu.

Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia, Dicky Pelupessy, di laman Kompas.id (12/7/2020) menjelaskan bahwa stigma Covid-19 berkaitan dengan informasi yang selama ini diterima masyarakat. Bias informasi akan memunculkan anggapan yang salah. Hal yang lebih menyakitkan adalah saat muncul diskriminasi, yakni pembedaan perlakuan di kalangan sesama warga.

Stigma bisa begitu memberatkan bagi para pasien Covid-19, keluarganya, tetangganya bahkan masyarakat se-wilayahnya. Karena hal tersebut pula, wajar apabila orang-orang akhirnya enggan periksa karena khawatir hasilnya positif.

Sign up via our free email subscription service to receive notifications when new information is available.