Hampir setiap tahun Indonesia masuk lima besar negara di dunia dengan jumlah pengguna media sosial aktif; bersama India, Amerika Serikat, Brasil, dan Meksiko. Sesuai data Globalwebindex yang dipublikasikan Januari lalu, ada 160 juta pengguna aktif media sosial di Indonesia.
Editorial | Clakclik.com | 13 Juni 2020
Harus diakui, hingga hari ini media sosial belum sepenuhnya dipakai secara sehat, sebagai perekat masyarakat dan untuk meningkatkan kualitas kehidupan. Bahkan, media sosial bisa menjadi pemicu perpecahan masyarakat, setidak-tidaknya kian memperuncing konflik. Kondisi ini bukan terjadi di Indonesia saja, namun juga di banyak negara.
Freedom House, lembaga nirlaba yang bertujuan memajukan demokrasi dan kemerdekaan berpendapat, berbasis di Washington, November 2017 mengeluarkan laporan adanya manipulasi media, khususnya media sosial untuk melemahkan demokrasi. Manipulasi informasi dalam jaringan itu berperan penting dalam pemilihan di tak kurang dari 18 negara, setahun terakhir, termasuk AS. Situasi itu berlanjut hingga saat ini.
Sekitar dua tahun terakhir, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mencatat hoaks pun membanjiri masyarakat lewat media sosial. Pada 2019, bersamaan dengan pelaksanaan pemilu, rata-rata terdapat 100 hoaks per bulan, 60 persen di antaranya soal politik. Saat ini terdapat lebih dari 100 hoaks per bulan, sebagian besar terkait pandemi Covid-19.
Penelitian Dewan Pers pada November 2019 menunjukkan, hampir 70 persen rakyat Indonesia mengandalkan informasi dari media sosial. Media sosial, seperti Facebook, Instagram, dan Twitter, serta media percakapan warga, seperti Whatsapp dan Line, menjadi saluran penyebaran hoaks.
Kementerian Komunikasi dan Informatika mencatat, pada 23 Januari-2 Juni 2020, ada 802 hoaks terkait pandemi Covid-19 yang menyebar di masyarakat.
Menurut Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho, masyarakat telanjur ramai-ramai bergerak menggunakan media sosial, tetapi belum tahu bagaimana membaca informasi yang benar. Meningkatkan kesadaran warga untuk bermedia sosial dengan sehat menjadi tanggung jawab bersama.
Paling tidak, ada dua hal yang harus kita lakukan; pertama terkait dengan pengembangan literasi, yang berarti berhubungan dengan bahasa, khususnya digital, perlu terus diadakan dan menyasar lebih banyak orang.
Kedua kampanye ”saring sebelum sharing” atau ”berhenti di kamu” harus terus digalakkan sehingga hoaks tak menyebar. Warga harus diingatkan untuk bisa menahan diri. Kalau hari ini ia menyebarkan hoaks, suatu hari bisa jadi korban hoaks.