Oleh: Husaini
Pengelola Omah Buku ‘Uplik Cilik’, tinggal di Pucakwangi, Pati, Jawa Tengah
Pandemi Covid-19 mengungkap banyak hal. Hal mendasar yang terungkap adalah soal rendahnya disiplin kita, lalu tentang lemahnya system dan pengembangan kesehatan dasar di pemerintah dan masyarakat hingga kita harus mendapatkan pelajaran dasar perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) yakni mencuci tangan.
Ragam tentang tutorial mencuci tangan yang benar selama Covid-19 berpotensi menghabiskan ratusan juta uang. Termasuk juga ragam himbauan para pejabat agar warganya mencuci tangan tentu saja juga bukan tanpa biaya. Semua proses yang dilakukan pejabat negeri ini untuk penanggulangan Covid-19 dibiayai oleh anggaran negara milik rakyat; APBN, APBD!
Di daerah baik tingkat propinsi maupun kabupaten/kota kita bisa melihat show dan gaya kepemimpinan yang berbeda-beda dalam penanganan Covid-19. Ada yang pimpinan daerahnya menguasai full aneka kerja penanganan Covid-19 dengan mengambil posisi menjadi ketua gugus tugas, ada juga yang berbagi tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) sehingga sebagai pimpinan daerah ia lebih leluasa bekerja; toh penanganan Covid-19 bukan satu-satunya pekerjaan pemerintah. Daerah memiliki segudang rencana kerja yang telah disusun melalui RPJMD lalu diturunkan ke RKPD yang anggarannya sudah disiapkan di APBD.
Benar memang ada refocusing, realokasi anggaran. Sejumlah rencana kerja dan anggaran harus dipangkas bahkan ada yang harus dibatalkan karena biayanya di alokasikan untuk tanggap darurat Covid-19. Namun sekali lagi, toh itu tidak semuanya. Oleh karena itu, pemimpin daerah harusnya konsisten dengan perencanaan daerah dan mengawal sungguh-sungguh program regular yang sudah disusun. Jangan lupa bahwa program regular itu disusun dengan menghabiskan biaya yang banyak juga. Kita bisa menghitung biaya proses perencanaan pembangunan di daerah sejak dari Musrenbangdes hingga Musrenbangkab sampai dengan proses pengesahan melalui verifikasi pejabat diatasnya (misalnya kalau APBD, RAPBDnya harus mendapatkan review dan pengesahan dari gubernur).
Konteks penanganan Covid-19 di Kabupaten Pati bisa diambil sebagai contoh bagaimana kerja penanganan Covid-19 seakan mengabaikan semua rencana pembangunan dan program pembangunan lainnya.
Bupati Pati dalam satu kesempatan pernah mengatakan bahwa karena ada refocusing anggaran untuk Covid-19, maka mohon warga jangan protes kalau ada jalan rusak. Bupati Pati juga memilih mengambil posisi langsung sebagai pimpinan gugus tugas penangnan Covid-19 hingga hari-hari dalam 3 bulan ia menjalankan pemerintahan seakan hanya disibukkan dengan urusan Covid-19; pagi sore konfrensi pers soal perkembangan data, siang diisi dengan kerja-kerja seremoni menerima bantuan dari aneka kalangan, juga kerja-kerja lapangan semisal meninjau lokasi-lokasi pelaksanaan program penanggulangan Covid-19: rapid test, seremoni pembagian bantuan, penyerahan BLT dan lain sebagainya.
Oleh media (utamanya media online), warga Pati (terutama warganet) disuguhi (hingga sebagian muak) aneka berita kegiatan bupati sepanjang hari dari aneka kegiatan penanganan Covid-19 ke kegiatan penanganan Covid-19 lainnya. Dari yang sangat penting hingga yang tidak penting. Dari yang kerja sungguhan hingga yang terkesan pencitraan.
Padahal, disisi lain, ada banyak persoalan yang penting dan membutuhkan perhatian serius; misalnya dalam konteks Covid-19: bagaimana nasib 20 ribuan lebih warga yang pati yang pulang kampung dari perantauan yang menurut Wakil Bupati Saiful Arifin bahwa semuanya sedang menjadi pengangguran; kehilangan pekerjaan. Bagaimana kabar petani sayur seperti cabe, dan lain-lain di Kabupaten Pati yang harganya terjun bebas saat pandemic Covid-19. Bagaimana kabar para petani tambak yang saat panen ikan kehilangan pembeli dan harus memasarkannya secara mandiri karena Covid-19. Bagaimana kabar para pekerja seni seperti biduan dangdut, para pemain kethoprak, dalang dan seluruh waranggono serta para sinden kehilangan job dan nganggur karena larangan kerumunan disaat Covid-19.
Sisi lain, program reguler yang bersumber dari musrenbang seakan semua lenyap. Jika-pun ada yang dijalankan justru program-program yang tidak memberik dampak baik apapun untuk rakyat yang sedang diserang pagebluk Covid-19. Justru kesan yang kuat adalah bahwa program itu tetap dijalankan karena kepentingan tertentu; misalnya proyek renovasi Stadion Joyokusumo dan proyek parkir kapal di Juwana.
Media massa (sekali lagi: utamanya media online) , menyuguhi dan menjejali warga dengan aneka kegiatan bupati yang berubah tupoksi-nya dari pemimpin daerah menjadi ketua pelaksana penanganan Covid-19 setelah mengangkat dirinya sendiri dan menjabat sebagai ketua gugus tugas penanganan Covid-19.
Dalam konteks ini, warga sering tidak bisa membaca; siapa yang memanfaatkan dan siapa sesungguhnya yang dimanfaatkan. Atau memang sesungguhnya kita sedang menonton pertunjukan yang dalam peribahasa Jawa disebut: ‘tumbu ketemu tutup’?: keduanya sama-sama membutuhkan, keduanya sama-sama diuntungkan. Pihak paling utama yang dirugikan dari praktik seperti ini adalah warga (sebagai pemberi mandat dan juga sebagai konsumen informasi).
Melalui proses demokrasi pemilihan pemimpin daerah yang mahal, warga dirugikan. Melalui belanja kuota dan pulsa intenet yang juga mahal, warga disuguhi berita hore-hore.
Semoga pagebluk Covid-19 segera berlalu. Kita akan segera menuju kenormalan baru!