Berawal dari keprihatinan bersama atas keadaan Sungai Juwana, sekelompok orang dari beragam latar belakang mengikat diri dalam satu komunitas bernama Jampisawan.
Nama Jampisawan diambil dari bahasa Jawa. Secara filosofis nama Jampisawan memiliki arti; Jampi berarti obat, Sawan berarti gangguan kesehatan fisik maupun psikologis yang diakibatkan sesuatu yang tidak jelas. Keberadaan Jampisawan diharapkan mampu memberikan kontribusi solusi atas masalah-masalah terkait dengan keberfungsian dan pemanfaatan Sungai Juwana.
Sejumlah anggota jampisawan melakukan monitoring terkait dengan proyek normalisasi Sungai Juwana (14/9/2010). Kegiatan monitoring sungai merupakan kegiatan rutin jampisawan. Selain soal normalisasi, biasanya Jampisawan juga memonitor soal sampah dan pemanfaatan sempadan sungai dan sedimentasi.
Selain itu, Jampisawan merupakan akronim atau singkatan dari Jaringan Masyarakat Peduli Sungai Juwana. Hal ini mencerminkan sebaran keanggotaan. Anggota Jampisawan disamping terdiri dari beragam profesi (petani, nelayan, perangkat desa, guru, aktifis lingkungan, pengusaha dan seniman), mereka rata-rata merupakan warga yang tinggal di sepanjang Sungai Juwana. Sebagian mereka adalah korban banjir saat Sungai Juwana meluap dan kehilangan matapencaharian serta pendapatan ekonomi saat Sungai Juwana mongering di musim kemarau.
Jampisawan eksis sejak tahun 2010. Diantara program yang dikembangkan adalah melakukan kajian terkait dengan situasi Sungai Juwana melalui ekspedisi Sungai Juwana yang kemudian dibukukan dengan judul Benang Kusut Sungai Juwana (2010), melakukan kampanye peduli sungai melalui festival sungai dengan beragam kegiatan; diantaranya parade perahu, lomba susur sungai untuk pelajar SMA, lomba menggambar untuk pelajar SD, pentas teater, pameran foto dan lomba membuat rakit. Kegiatan festival sungai sudah dilakukan 4 kali.
Sejumlah anggota Jampisawan melakukan aksi memungut sampah plastic di Sungai Juwana (12/10/2012). Keberadaan Sungai Juwana yang melintasi pemukiman dan lahan pertanian, menjadikan Sungai Juwana mirip seperti tempat pembuangan sampah; baik sampah rumah tangga maupun sampah pertanian. Nelayan tradisional sering mengalami gangguan karena baling-baling perahunya tersangkut sampah.
Jampisawan juga aktif melakukan advokasi terkait dengan normalisasi Sungai Juwana. Advokasi dilakukan melalui pengorganisasian petani di sepanjang sungai, melakukan audiensi ke balai besar wilayah sungai pemali juwana (BBWS Pemali Juwana) di Semarang, audiensi dengan pemerintah dan DPRD Kabupaten Pati yang akhirnya pemerintah merealisasikan program normalisasi Sungai Juwana selama 3 tahun, yakni; tahun 2011, 2012 hingga 2013. Selain itu,
Jampisawan juga melakukan pemantauan atas proses normalisasi dengan cara melakukan monitoring di lapangan menggunakan perahu secara swadaya. Karena menemukan kejanggalan proyek, Jampisawan melalui salah satu anggotanya juga melakukan permohonan data public hingga terjadi sengketa informasi publik dan berakhir dengan mediasi di Komisi Informasi Jawa Tengah.
Petani memanen padi di tengah genangan banjir Sungai Juwana (20/02/2008). Petani sering mengalami gagal panen karena banjir Sungai Juwana.
Sampai saat ini, Jampisawan masih aktif bergerak; melakukan kampanye stop membuang sampah di sungai, mengkritisi banyaknya bangkai kapal yang ada di sepanjang muara Sungai Juwana karena berkontribusi besar terhadap percepatan pendangkalan sungai hingga memantau proyek normalisasi muara Sungai Juwana yang saat ini (2019) sedang berjalan.
Pada saat banjir, Jampisawan juga menerjunkan relawan dan menyalurkan bantuan untuk warga yang terdampak banjir Sungai Juwana.
Bagi masyarakat Kabupaten Pati, Sungai Juwana merupakan salah satu urat nadi kehidupan. Ribuan petani di 7 kecamatan (Sukolilo, Kayen, Margorejo, Gabus, Pati, Jakenan dan Juwana) di Kabupaten Pati bergantung pada Sungai Juwana. Pada saat musim kemarau, disamping air Sungai Juwana menyusut, juga terjadi intrusi air laut ke sungai hingga 23 kilo meter. Hal ini merdampak pada petani di sepanjang Sungai Juwana tidak bisa bercocok tanam. Hal yang sama juga dialami oleh ratusan nelayan tradisional. Mereka tidak bisa melaut karena perahu kandas dan terjadi penyempitan sungai akibat banyaknya kapal yang parkir di bahu sungai. Sedangkan saat musim penghujan, Sungai Juwana sering tidak mampu menampung air dari lereng Pegunungan Kendeng dan Gunung Muria sehingga terjadi banjir. Kondisi dangkalnya sungai akibat sedimentasi dan sampah memperparah menurunnya keberfungsian Sungai Juwana.
Kini, Sungai Juwana lebih banyak menimbulkan ancaman bag masyarakat disbanding manfaatnya. Hal itu yang mendasari Jampisawan hingga saat ini terus bergerak. Sekecil apapun peran yang bisa dilakukan, bergerak memperi kontribusi baik menjadi kuwajiban kita semua.