23
Sat, Nov

JURNALISME HARAPAN

Ilustrasi / Clakclik.com

Opini
Typography
  • Smaller Small Medium Big Bigger
  • Default Helvetica Segoe Georgia Times

Oleh: Farid Gaban | Editor in Chief The GeoTimes Online, Direktur Zamrud Khatulistiwa Foundation

Baca juga: https://www.clakclik.com/78-opini/1268-pati-dan-merangseknya-industri-footloose

Baca juga: https://www.clakclik.com/opini/78-opini/1327-birokrasi-seharusnya-melindungi-publik

Dua pekan lalu saya nonton liputan TV NHK Jepang tentang aliran jurnalisme baru: Journalism of Hope (atau Jurnalisme Harapan).

NHK meliput praktek jurnalisme di tingkat lokal, di kota-kota kecil Amerika, Jepang dan Denmark. Ini sebenarnya bukan praktek yang secara substansial baru sama sekali. Melainkan menekankan beberapa prinsip jurnalisme yang membuatnya relevan di era sekarang.

Seperti kita tahu, era internet dan sosial media telah memporak-porandakan dunia media secara umum. Banyak koran dan majalah besar bangkrut, bahkan televisi serta radio juga kian menyusut perannya.

Sementara itu, media online yang dikelola oleh korporasi besar juga dipandang tidak memiliki cukup manfaat bagi masyarakat. Dengan sedikit pengecualian, media online terjebak hanya menyajikan click-bait serta berita-berita permukaan yang cenderung sensasional.

Peran media arus-utama sudah mulai luntur bahkan sebelum kehadiran internet. Alih-alih memperkuat perannya sebagai "pilar demokrasi", banyak media (khususnya televisi) terjebak menyajikan infotainmen dan sensasi konflik yang mengalihkan perhatian publik dari masalah-masalah penting keseharian yang dihadapi banyak orang.

Berita-berita permukaan dan sensasional cenderung menghilhami polarisasi politik ketimbang membekali warga dengan pengetahuan esensial untuk bisa berpartisipasi dalam kebijakan publik.

Media makin kehilangan relevansinya bagi masyarakat luas. "Jurnalisme harapan" diharapkan bisa mengembalikan pamor jurnalisme.

Tapi, apa sebenarnya "jurnalisme harapan" itu? Liputan NHK menunjukkan bagaimana jurnalis di tingkat lokal memakai prosedur "problem-solving" untuk membangun ikatan yang lebih kuat dengan komunitasnya.

Para jurnalis media online, radio dan televisi, secara pro-aktif bertanya kepada masyarakat tentang problem keseharian yang dihadapi. Dari soal pencemaran sungai, soal transportasi publik, atau sesederhana mengatasi limbah makanan di restoran-restoran.

Jurnalis mendatangi warga untuk bertanya langsung atau membuka hotline lewat berbagai saluran komunikasi. Jurnalis kemudian mengajukan problem kepada pihak-pihak yang berwenang (pemerintah kota atau desa) serta pihak-pihak yang terlibat, serta menanyakan apa solusi yang bisa diberikan.

"Jurnalisme harapan" bukan jurnalisme "puja-puji", bukan pula berisi "hal-hal baik" belaka. Tujuannya menemukan solusi. Jurnalis tidak berhenti sampai solusi ditemukan.

Solusi seringkali tidak ditemukan hanya dalam sehari-dua, tapi berminggu-minggu. Dan tidak cuma berkaitan dengan penguasa di level lokal. Kebijakan publik daerah dipengaruhi oleh kebijakan provinsi atau pusat.

Dalam salah satu contoh yang diungkap NHK, keluhan warga lokal bahkan dijawab oleh pejabat setingkat menteri.

Dengan menemukan solusi atas problem atau keluhan warga, jurnalisme menjadi relevan bagi masyarakat.

Jurnalisme problem-solving juga mendorong para pejabat publik menjadi lebih akuntabel dan transparan; menuntut mereka untuk melayani dan berdialog dengan rakyat kebanyakan secara lebih baik.

Di situlah sebenarnya esensi demokrasi dan kedaulatan rakyat di tingkat yang kongkret. Dengan melakukan itu, salah satu prinsip utama jurnalisme telah ditunaikan, yakni menjadi pemantau kekuasaan, terutama para pejabat di level lokal yang berharapan langsung dengan masyarakat.

Jurnalisme seperti ini layak dikembangkan untuk memperkuat jurnalisme warga (citizen journalism) yang kini perannya makin mengemuka. Namun juga bisa diterapkan oleh media arus-utama yang ingin membuat dirinya tetap relevan.

 

Sign up via our free email subscription service to receive notifications when new information is available.